Partisipasi Masyarakat
dalam Politik Pemilihan Sebagai Implementasi Nilai Demokrasi yang ada di
Indonesia
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Pemilihan Tingkat Nasional dan Daerah Kelas
H yang di Bina Oleh Bapak Andhyka Muttaqin, S.AP, MPA.
Di Susun Oleh :
Muhammad
Ni’am Sukri 135030100111060
Mochamad
Fauzan 135030100111058
Ali
Hasby Tauhidy 135030101111082
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai mahluk Tuhan YME telah memiliki hak
dan kewajiban yang melekat pada dirinya sejak terlahir didunia. Manusia
mempunyai hak untuk memperjuangkan hak-haknya, baik dalam kehidupan berbangsa
maupun bernegara, salah satunya yakni dalam bidang politik. Kehidupan politik
yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi
diluar pemerintah (non formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi
pendapat,pandangan, dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik
dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan
mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap
negaranya,pemerintahanya, pemimpin politik dan lain-lain. Akan tetapi, seringkali
partisipasi yang bergejolak ataupun partisipasi yang pasif menimbulkan pro dan
kontra dalam kehidupan politik suatu negara terutama dalam hal pemilihan
pemimpin suatu negara. Kehadiran partai politik dalam suatu pemerintahan
terkadang menjadi acuan apakah partisipasi politik disuatu negara telah
berjalan dengan baik ataupun tidak.
Partisipasi politik masyarakat sendiri merupakan salah
satu bentuk aktualisasi dari proses demokrasi. Hal ini menjadi sangat penting
bagi masyarakat dalam proses pembangunan politik bagi negara-negara berkembang
seperti diindonesia, kerena didalamnya ada hak dan kewajiban masyarakat yang
dapat dilakukan,salah satunya adalah berlangsung dimana proses pemilihan kepala
negara sampai dengan pemilihan walikota dan bupati secara langsung. Sistem ini
membuka ruang dan membawa masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses
tersebut.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pengertian
demokrasi, demokratis atau tidaknya suatu negara itu dilihat dari bagaimanakan
perjalanan pemilu yang ada dinegara tersebut, apabia partisipasi dari
masyarakatnya bagus maka dapat disimpulkan bahwa negara tersebut bisa dinilai
sebagai negara yang demokratis, lalu bagai mana dengan Indonesia? Bukankah
indonesia merupakan negara yang Demokrasi?
Dalam hal ini memang Indonesia merupakan negara yang
menerapkan sistem demokrasi hal ini terlihat dari dengan diadakannya pemilu
pertama kali pada tahun 1955 akan tetapi dalam perjalanannya justru semakin
kesini tingkatan partisipasi dari masyarakat justru semakin berkurang, hal ini
terlihat dari semakin bertambahnya angka prosentase golput.
Sebenarnya ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan
oleh para pengamat atau penyelenggara pemilu tentang penyebab adanya Golput
diantaranya pertama masalah administratif. Seseorang pemilih tidak memilih
karena terbentur dengan prosedur administratif seperti tidak mempunyai kartu
pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua masalah
teknis yakni seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu
untuk memilih seperti harus bekerja dihari pemilihan, sedang ada keperluan,
harus ke luar kota disaat pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya
keterlibatanatau ketertarikan pada politik (political engagement) yakni
seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan
tidak memandang pemilu atau pilkada sebagai hal yang penting. Keempat,
kalkulasi rasional yakni pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilhnya
karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih, pemilu legislatif dipandang
tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan yang berarti, bahkan bisa jadi
karena tidak ada calon yang disukai.[1]
Berbagai masalah tentang banyaknya angka Golput
sebenarnya sudah menjadi perhatian dari KPU di setiap pemilihan umum,
sebenarnya KPU sudah berusaha dengan berbagai cara agar tingkat partisipasi
masyarakat terus meningkat dan angka prosentase golput dapat ditekan seminimal
mungkin.
1.2 Rumusan Masalah
Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi yang
mengatas namakan rakya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dirasakan dapat
membawa pemerintahan indonesia kearah yang lebih baik dan lebih beradab dalam
bidang demokrasi pemilihan. Jika dilihat dari latar belakang diatas dapat
diambil rumusan masalah yakni bagaimana Partisipasi masyarakat dalam Politik Pemilihan
Sebagai Implementasi Nilai Demokrasi yang ada di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Pembuatan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas politik pemilihan tingkat nasional dan daerah
serta menambah wawasan para pembaca sebagai tambahan informasi mengenai Partisipasi
masyarakat dalam Politik Pemilihan Sebagai Implementasi Nilai Demokrasi yang
ada di Indonesia sehingga diharapkan para pembaca dapat menanamkan sikap
demokrasi didalam kegidupan baik pribadi maupun sosial. Selain itu juga penulis
berharap agar masyarakat setelah membaca makalah ini akan semakin sadar tentang
seberapa penting dan berharganya hak pilih dari para pemilih dalam pemilihan
umum, sehingga diharapkan angka golput kedepanya bisa berkurang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilihan umum (Pemilu)
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.[2]
Selain itu pemilu juga
dapat diartikan sebagai proses pemilihan orang-orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam,
mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai
kepala desa. Pemilu sendiri merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat
secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public
relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan
propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan
umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para
kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Selain itu juga ada
beberapa pendapat dari para ahli tentang pemilu diantaranya sebagai berikut :
·
Menurut (Ramlan,
1992:181)
Pemilu diartikan sebagai
“ mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada
orang atau partai yang dipercayai.
·
Menurut Harris G.
Warren dan kawan-kawan,
Pemilu merupakan:
“Elections are the accostions when citizens choose their officials and cecide,
what they want the government to do. ng these decisions citizens determine what
rights they want to have and keep.”
·
Menurut Ali
Moertopo
Pada hakekatnya, pemilu adalah sarana yang tersedia
bagi rakyat untuk menjalankn kedaulatannya sesuai dengan azas yang bermaktub
dalam Pembukaan UUD 1945. Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu Lembaga
Demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, DPRD,
yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah, menetapkan
politik dan jalannya pemerintahan negara.
·
Menurut Suryo
Untoro
Bahwa Pemilihan Umum (yang selanjutnya disingkat
Pemilu) adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang
mempunyai hak pilih, untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam Badan
Perwakilan Rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Tingkat I dan Tingkat II (DPRD I dan DPRD II).
2.2 Pengertian Sistem Pemilu
Dieter Nohlen
mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan
dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah “…. segala
proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku
pemilih." Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem
pemilihan umum adalah “… cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan
politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan
menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik."
Definisi lain dari sistem pemilihan umum dikemukakan
oleh Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute of
Technology. Menurut mereka, yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum adalah
“… menerjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu menjadi sejumlah kursi yang
dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan
bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang
dihasilkan, menjadikan sistem pemilihan umum sebagai lembaga penting dalam
demokrasi perwakilan."
Melalui dua definisi sistem pemilihan umum yang ada,
dapat ditarik konsep-konsep dasar sistem pemilihan umum seperti:
Transformasi suara
menjadi kursi parlemen atau pejabat publik, memetakan kepentingan masyarakat,
dan keberadaan partai politik. Sistem pemilihan umum yang baik harus
mempertimbangkan konsep-konsep dasar tersebut.
2.3 Pengertian dan Konsep dari Partisipasi Politik
Pertisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian
dari budaya politik, disebabkan keberadaan struktur-struktur politik di dalam
masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan juga
media masa yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan satu indikator adanya
keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik (partisipan). Sementara itu
pengertian dari partisipasi politik itu sendiri merupakan kegiatan seseorang
atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak
langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri
rapat, mengaadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat
pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai salah satu gerakan
sosial dengan direct actionnya dan sebagainya.[3].
Selain itu juga partisipasi dapat diartikan sebagai salah
satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik
warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif
maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Wahyudi Kumorotomo mengatakan
“Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa
maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara
pemerintah dan warganya.”[4]
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak
partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama,
partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi
kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga
pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga
negara secara langsung.
Untuk memperjelas konsep arti dari partai politik,
para ahli merumuskan beberapa rumusan tentang pengertian partisipasi politik
sebagai berikut :
1)
Herbert McClosky
(dalam International Encyclopedia of The Social Science)
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela
dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa dan secara langsung terlibat dalam proses pembentukan
kebijaksanaan umum
2)
Huntington dan
Nelson
Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara
preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh
pemerintah yang memiliki beberapa indikator sebagai berikut :
·
Partisipasi
politik menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.
·
Subyek partisipasi
politik adalah warga negara preman (private citizen) atau orang per orang dalam
peranya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang
politik.
·
Kegiatan dalam
partisipasi politik adalah kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai
wewenang politik
·
Partisipasi
politik mencakup semua kegiatan mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah
tindakan itu mempunyai efek ataupun tidak.
·
Partisipasi
politik menyangkut partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan.
3) Prof.
Mirian Budiharjo dalam Dasar-dasar Ilmu Politik.
Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang dalam
partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui
mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan
turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijakan
umum. Indikatornya adalah berupa kegiatan individu atau kelompok yang bertujuan
untuk ikut aktif dalam kehidupan berpolitik, memilih pemimpin publik atau
mempengaruhi kebijakan publik.
4)
Gabriel Almond (2004:26)
Partisipasi politik hanya terbatas pada kegiatan
sukarela saja yaitu kegiatan yang dilakukan tanpa paksan atau tekanan dari
siapapun.
5) Milbiath (2001:143)
Menjelaskan partisipasi sebagai dimensi utama
stratifikasi sosial. Dia membagi partisipasi politik menjadi empat bagian
yaitu:
a.
Pemimpin Politik
Pemimpin
politik adalah pemegang kekuasaan yang memiliki legitimasi secara absah dari
warga masyarakat. Pemimpin politik ini selalu memberikan perlindungan terhadap
masyarakat sebagai objek kekuasaan.
b.
Aktivis Politik
Aktivis
politik adalah orang-orang yang selalu menghadiri setiap kegiatan politik
c.
Komunikator
Komunikator
adalah orang yang menerima dan menyampaikan ide, sikap dan informasi politik
lainnya kepada orang lain.
d.
Warga Negara
Warga negara
adalah semua individu maupun kelompok yang turun serta dalam agenda politik
Partisipasi politik erat
sekali kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya
diperintah, orang kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah. Di
negara-negara demokrasi umumnya dianggap baha lebih banyak partisipasi
masyarakat maka lebih baik, sebaliknya tingkat partisipasi yang rendah pada
umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa
banyak warga tidak menaruh perhatian
terhadap masalah kenegaraan.
2.4 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk
partisipasi politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari
segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Partisipasi aktif
Merupakan
bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu
sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu
kebijakana umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan
pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan,
membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.
b.
Partisipasi Pasif
Merupakan
bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati
peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan
pemerintah.[5]
Ditingkat individu, secara lebih spesifik
Milbrarth M.L. Goel mengidentifikasi tujuh bentuk partisipasi politik
individual .
No
|
Bentuk
Partisipasi
|
Keterangan
|
1
|
Aphatetic
Inactuves
|
Tidak
beraktifitas yang partisipatif, tidak pernah memilih.
|
2
|
Passive
Supporters
|
Memilih secara
reguler/teratur, menghadiri parade patriatik,
membayar seluruh
pajak, “mencintai negara”.
|
3
|
Contact Specialist
|
Pejabat
penghubung lokal (daerah), propinsi dan nasional dalam masalah-masalah
tertentu.
|
4
|
Communicators
|
Mengikuti
informasi-informasi politik, terlibat dalam diskusi-diskusi, menulis surat
pada editor surat kabar, mengirim pesan-pesan dukungan dan protes terhadap
pemimpin-pemimpin politik.
|
5
|
Party and campign workers
|
Bekerja untuk
partai politik atau kandidat, meyakinkan orang lain tentang bagaimana
memilih, menghadiri pertemuan-pertemuan, menyumbang uang pada partai politik
atau kandidat, bergabung dan mendukung partai politik, dipilih jadi kandidat partai politik.
|
6
|
Community
activitis
|
Bekerja dengan
orang lain berkaitan dengan masalah-masalah lokal, membentuk kelompok untuk
menangani problem-problem lokal, keanggotaan aktif dalam
organisasi-organisasi kemasyara-katan, melakukan kontak terhadap
pejabat-pejabat berkenan dengan isu-isu sosial.
|
7
|
Protesters
|
Bergabung dengan
demonstrasi-demonstrasi publik di
jalanan, melakukan kerusuhan bila perlu, melakukan protes keras bila
pemerintah melakukan sesuatu yang salah, menghadapi pertemuan-pertemuan
protes, menolak mematuhi aturan-aturan.
|
Dari berbagai aktivitas-aktivitas ini,
kita bisa melihat keberagaman aktivitas dalam partisipasi politik. Dari hal
yang paling sederhana hingga yang kompleks, dari bentuk-bentuk yang
mengedepankan kondisi damai sampai tindakan-tindakan kekerasan. Namun seluruh
aktivitas ini termasuk dalam kerangka partisipasi politik, setiap tindakan yang
berhadapan dengan pembuat dan pelaksana kebijakan, dan partisipan terlibat
untuk mempengaruhi jalannya proses tersebut agar sesuai kepentingan dan aspirasinya[6]
2.5 Tingkatan Partisipasi Politik
Tingkatan partisipasi
politik merupakan pencerminan dari kapasitas partisipan dalam berpartisipasi
politik. Semakin tinggi tingkatan yang ditempati, maka semakin tinggi juga
tingkatan partisipasi politiknya. Menurut Huntington dan Nelson, Rush dan
Althoff tingkatan partisipasi politik dibagi sebagai berikut:
1.
Menduduki jabatan
politik atau administratif
2.
Mencari jabatan
politik atau administratif
3.
Keanggotaan aktif
suatu organisasi politik
4.
Keanggotaan pasif
suatu organisasi politik
5.
Keanggotaan aktif
suatu organisasi semu politik (quasi-political)
6.
Keanggotaan pasif
suatu organisasi semu politik (quasi-political)
7.
Partisipasi dalam
rapat umum, demonstrasi dan sebagainya
8.
Partisipasi dalam
diskusi politik informal minat umum dalam bidang politik
9.
Voting (pemberian
suara)
2.6 Faktor pendukung dan penghambat partisipasi pemilu
a.
Faktor pendukung
dari partisipasi politik
1.
Pendidikan politik
Menurut
Ramdlon Naning, pendidikan politik merupakan usaha untuk memasyarakatkan
politik dalam, arti mencerdaskan kehidupan politik, meningkatkan kesadaran
setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan
kepekaan dan kesadaran rakyat terhadap hak, kewajiban dan tanggung jawabnya
terhadap berbangsa dan bernegara.
2.
Kesadaran politik
Menurut
Drs. M. Taupan, kesadaran politik merupakan suatu proses batin yang menampakan
keinsafan dari setiap warga negara akan urgensi kenegaraan dalam kehidupan
masyarakat dan bernegara, kesadaran politik atau keinsafan hidup bernegara menjadi
penting dalam kehidupan bernegara menjadi penting dalam kehidupan kenegaraan,
mengingat tugas-tugas negara bersifat menyeluruh dan kompleks sehingga tanpa
dukungan positif dari seluruh warga masyarakat, tugas-tugas negara banyak yang
terbengkalai.
3.
Sosialisasi
politik
Sosialisasi
politik merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan
jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada
politik. Adapun alat yang dapat dijadikan sebagai perantara atau sasran dalam
sosialisasi olitik yakni : keluarga, sekolah, serta partai politik [7]
b.
Faktor penghambat
partisipasi politik
Banyak
hal yang menyebabkan banyak orang tidak ikut berpartisipasi dalam politik yakni
:
1.
Apatis (masa
bodoh) hal ini dapat diartikan sebagai tidak adanya perhatian seseorang
terhadap oranglain, situasi atau gejala-gejala.
2.
Sisisme, menurut
Agger sinisme dapat diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”,
dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan kotor, tidak dapat
dipercaya, dan menganggap partisipasi plitik dalam bentuk apapui itu sia-sia
dan tidak ada hasilnya.
3.
Alienas, menurut
Lane Alienase merupakan suatu perasaan keterasingan seseorang dari politik
mengenai pemerintah dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang
lain tidak adil.
4.
Anomie, menurut
Lane Anomie merupakan suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan
kondisi orang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para
penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan
dan hilangnya urgensi untuk bertindak.[8]
2.7 Regulasi yang mengatur tentang Partisipasi Masyarakat
dalam Pemilu
Didalam Undang-undang
yang terbaru, penyelenggaraan pemilihan umum diatur dalam undang-undang no 15
tahun 2011. Didalamnya disebutkan pasal 1 angka 1 bahwa pemilihan umum
merupakan sarana dari pelaksanaan kedaulatan yang diselenggarakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adildalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Jika dilihat dari pengertian yang sudah dijelaskan pada
pasal 1 ayat 1 undang-undang no 15 tahun 2011 seharusnya pemilihan umum
dimaknai sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk menghendaki adanya suatu
bentuk pemerintahan yang demokratis yang ditentukan secara jujur dan adil.
Selain itu juga jika
dilihat dari Undang-undang tahun 1945 memang seharusnya indonesia mempunyai
sistem kekuasaan yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Bahkan
menurut Prof. Prayudi Atmosudirdjo kekuasaan yang ada di Indonesia didistribusikan
ke dalam enam kekuasaan, yaitu :
1.
Kekuasaan
konsitutif,
2.
Legislatif,
3.
Yudikatif,
4.
Eksekutif,
5.
Konsultatif
6.
Inspektif.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea
keempat menyatakan bahwa “kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu
Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pasal
2 ayat(1) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tanagan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”
Selain mengacu pada
Undang-Undang Dasar, ketentuan lain juga diatur melalui peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-undang Dasar. Pada ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menunjukkan
adanya bentuk pelanggaran hukum terhadap jaminan hak memilih yang melekat pada
warga negara Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politiknya”. Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dinyatakan bahwa :
“Setiap warga
negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan
persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Jika dilihat berdasarkan
ketentuan kedua pasal yang telah dijelaskan diatas, sudah jelas bahwa terdapat
jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara Republik Indonesia untuk
memperoleh dan melaksanakan hak memilihnya dalam pemilihan umum.
2.8 Prinsip Pemilu yang Demokratis
Suatu pemilu yang
demokratis mempunyai beberapa ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Dilaksanakan oleh Lembaga
Penyelenggara Pemilu (Jajaran KPU dan Jajaran BAWASLU) yang mandiri dan bebas
intervensi dari pihak manapun.
2.
Dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
3.
Semua tahapan
dilaksanakan secara demokratis, prosedural, transparan dan akuntabel.
4.
Pemerintah dan
jajarannya menjaga integritas dan netralitas.
5.
Melindungi dan
menjaga kesamaan hak pemilih dengan prinsip satu suara mempunyai nilai yang
sama (one person, one vote dan one value).
Selain
prinsip-prinsip yang sudah dijelaskan diatas, dalam manifesto dan deklarasi
tentang kriteria pemilu yang bebas dan adil yang telah diterima oleh Dewan
Antar Parlemen dijelaskan tentang beberapa hal pokok sebagai berikut:
1.
Setiap pemilih
mempunyai hak memberikan suara dalam Pemilu tanpa diskriminasi.
2.
Setiap pemilih
mempunyai hak mendapatkan akses informasi yang efektif, tidak berpihak dan
tidak diskriminatif.
3.
Tidak seorang pun
warga yang memilih hak dapat dicegah haknya untuk memberikan suara atau
didiskualifikasi untuk mendaftar sebagai pemilih, kecuali sesuai kriteria
obyektif yang ditetapkan undang-undang.
4.
Setiap orang yang
ditolak haknya untuk memilih atau untuk didaftarkan sebagai pemilih berhak naik
banding ke pihak yang berwenang untuk meninjau keputusan itu dan untuk
mengoreksi kesalahan secara cepat dan efektif.
5.
Setiap pemilih
mempunyai hak dan akses yang sama pada tempat pemungutan suara untuk dapat
mewujudkan hak pilihnya.
6.
Setiap pemilih
dapat menentukan haknya sama dengan orang lain dan suaranya mempunyai nilai
yang sama dengan suara pemilih yang lain.
7.
Setiap pemilih
mempunyai hak memberikan suara secara rahasia adalah mutlak dan tidak boleh
dihalangi dengan cara apapun.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
3.1
Sekilas tentang
Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Di Indonesia
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan
indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah
oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka
dalam pesta demokrasi (Pemilu). Semakin tinggi tingkat partisipasi politik
mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam
kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada
umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat
terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi
politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.
Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di
Indonesia pada Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai
8,6%, pada Pemilu 1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah
Golput mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik
pemilih 96,5% dan jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat
partisipasi politik pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%, pada Pemilu
1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah Golput
mencapai 4,9%, pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai
93,6% dan jumlah Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi
politik pemilih mencapai 92,6% dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif
tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1% dan jumlah Golput
15,9%, pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai
78,2% dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada
Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan
jumlah Golput 23,4%. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi
politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput
semakin meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik
pemilih mencapai 71,7% dan jumlah Golput mencapai 28,3%. Sedangkan dalam pemilu
tahun 2014 Justru semakin memburuk, hal ini terlihat dari banyaknya warga
masyarakat yang memilih untuk GOLPUT bahkan prosentasenya mencapai 32,75%.
3.2
Partisipasi
masyarakat dalam Politik Pemilihan Sebagai Implementasi Nilai Demokrasi yang
ada di Indonesia.
Di Indonesia berpartisipasi dalam pemilihan umum
merupakan tindakan yang dijamin oleh negara, hal tersebut tercantum dalam UUD
1945 pasal 28 yang berbunyi “ kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”. Selain itu juga diatur secara jelas dalam Undang-undang nomor
12 tahun 2005 mengenai jaminan sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang
harus dilindungi oleh negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak
memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintah, hak mendapatkan
keadilan,dll
Salah satu contoh implementasi dari kebebasan yang
dimaksud diatas yakni partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, hal ini
merupakan salah satu implementasi nilai-nilai demokrasi di Indonesia, hal
tersebut mencerminkan nilai kebebasan, dimana masyarakat diberi kebebasan penuh
untuk memilih dan mendukung calonnya dalam pemilihan umum.selain itu juga
masyarakat diberikan kebebasan melakukan protes terhadap pemerintah, hal ini
menunjukan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik di Indonesia mengalami peningkatan.
Budiarjo (1996:185) menyatakan dalam negara-negara demokratis umumnya dianggap
bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat lebih baik. Dalam pemikiran ini,
tingginya tingkat partisipasi menunjukan bahwa warga negara mengikuti dan
memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan itu. Sebagai
pelaksana nilai demokrasi, partisipasi masyarakat dalam politik pemilihan
memiliki peran yang sangat penting. Karena dalam negara demokrasi semua
bersumber dari rakyat, oleh rakyat,dan untuk rakyat.
Akan tetapi dalam pelaksanaanya pemilihan umum yang
dilaksanakan sejak reformasi masih saja ditemukan berbagai masalah, salah
satunya yang menjadi masalah yang jadi perhatian yakni jumlah partisipasi
masyarakat terhadap pemilihan umum, masih banyaknya warga masyarakat yang
golput dalam pemilu, hal tersebut dapat dilihat dari prosentase partisipasi
dalam pemilu sebagai berikut :
Sumber : Litbang kompas/VOH, diolah dari KPU
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa angka
prosentase golput dari kurun waktu ke waktu cenderung mengalami penurunan. Hal
ini tidak lepas dari kinerja DPR dan DPRD periode 1999-2004 tak sebagus yang
dibayangkan. Bersamaan dengan berlakunya kebijakan otonomi daerah, maka DPRD
pun punya kuasa penuh atas APBD, sejak saat itulah korupsi marak diberbagai
daerah sampai pusat, dan korupsi semakin merata diberbagai bidang. Dengan
banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para anggota yang duduk diparlemen,
tidak heran jika tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu semakin menurun dikarenakan
ketidak percayaan masyarakat dengan para calon anggota legislatif.
Bahkan pada pemilu tahun 2014 tingkat partisipasi
masyarakat justru cenderung semakin menurun, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya angka golput bahkan mencapai prosentase 32,75%, angka tersebut dapat
dilihat dari tabel berikut :
Tahun
|
DPT
|
PARTISIPASI
|
TIDAK MEMILIH
|
%
|
2014
|
185,826,024
|
139,573,927
|
46,252,097
|
24,9%
|
SUARA SAH
|
SUARA TIDAK SAH
|
%
|
GOLPUT
|
%
|
124,972,491
|
14,601,436
|
10,5%
|
60,853,533
|
32,75%
|
Prosentase
Golput pada pemilu 2014 (sumber: kompasiana, diolah dari data KPU)
Jika dilihat dari data-data yang telah disajikan
diatas terlihat bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilu dari waktu ke waktu
cenderung mengalami penurunan, hal ini terlihat dari banyaknya pemilih yang
Golput dalam pemilu. Dengan banyaknya warga masyarakat yang golput menimbulkan
pertanyaan, sebenarnya apa sih faktor-faktor yang mempengaruhi mereka?
Ada beberapa alasan mengapa tingkat status
sosial-ekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih pada
saat Pemilu, yaitu :
1.
Jenis Pekerjaan
Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih mengahargai
partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sektor-sektor
yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi
tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada
lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan, menunjukkan
tingkat kehadiran memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Sebab,
mereka sering terkena langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti misalnya
kenaikan gaji, pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya. Begitu pula para
pensiunan yang sangat berkepentingan langsung dengan berbagai kebijakan
pemerintah, khususnya tentang besarnya tunjangan pensiun kesehatan,
kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan lainnya.
2.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi
perilaku pemilih masyarakat di Kecamatan Medan Amplas. Faktor pendidikan
merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab pendidikan sebagai
suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menganalisa
teori serta mampu untuk menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk
mencapai tujuan menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai pelaku
partisipasi aktif dalam pemilihan. Karena semakin tinggi pendidikan seseorang,
maka ketajaman dalam menganalisa informasi tentang politik dan
persoalan-persoalan sosial yang diterima semakin meningkat dan menciptakan
minat dan kemampuannya dalam berpolitik.
3.
Pengaruh Keluarga
Keluarga juga memberikan pengaruh yang cukup besar
pada masyarakat dalam hal tidak ikut memilih pada Pemilu Legislatif, kuatnya
pengaruh pimpinan keluarga (ayah) dalam menentukan pilihan politik keluarga.
Secara umum apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut memilih akan memberikan
pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk tidak ikut memilih.
Banyaknya warga masyarakat yang golput sangat
disayangkan, padahal yang seharusnya masyarakat seharusnya memilih para
wakilnya yang duduk diparlemen agar aspirasi mereka dapat tersalurkan, akan
tetapi faktanya justru banyak masyarakat yang tidak percaya lagi terhadap para
calon legislatif yang awalnya pada saat kampanye mereka beraspirasi akan
mementingkan kepentingan masyarakat, tapi pada saat telah terpilih justru
banyak dari anggota legislatif yang mementingkan kepentingan sendiri dan
akhirnya banyak yang melakukan korupsi. Oleh sebab itu agar partisipasi
masyarakat kembali meningkat lagi, maka perlu ada kerjasama antara pihak
pemerintah dan masyarakat. Dan pemerintah harus benar-benar mengusut berbagai
kasus korupsi yang ada diindonesia agar masyarakat kembali percaya terhadap
para anggota legislatif.
Sebenarnya upaya untuk mengatasi minimnya partisipasi
masyarakat (golput) sudah dilakukan oleh KPU. Salah satunya yakni dengan
menggunakan sistem input data online dan sosialisasi yang dilakukan secara
gencar yang dilakukan oleh KPU baik KPU pusat maupun KPU daerah. Selain itu juga
KPU melakukan sosialisasi tentang Daftar Pemilih Sementara (DPS) sebelum
menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT), tindakan yang dilakukan KPU tersebut perlu
diapresiasi oleh semua pihak karena KPU telah memperlihatkan Upayanya untuk
melakukan perbaikan keadaan. Sebenarnya sudah banyak pendapat yang diberikan
oleh banyak ahli guna memperoleh data yang bersih, valid dan reliable, akan
tetapi hal ini sangat sulit dilakukan. Penelitian yang terkait untuk memperoleh
data yang bersih, valid dan reliable sebenarnya dapat dilakukan dan ditelusuri
apabila pemerintah punya catatan kematian dari penduduk yang tercatat dalam
Single Identity Number (SIN) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai acuan
untuk memperoleh data yang bersih, valid dan reliable.
Akan tetapi Upaya yang dilakukan sia-sia, pemerintah
harusnya melakukan pendekatan secara persuasi (tidak bisa memaksa) agar
masyarakat aktif untuk mempelototi daftar pemilih.
Dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis haruslah
sesuai dengan asas dari pemilu itu sendiri diantaranya adalah :
1.
Jujur
Penyelenggara/pelaksana, pemerintah dan partai politik
peserta Pemilu, pengawas, dan pemantau Pemilu dan pemilih bersikap dan
bertindak jujur.
2.
Adil
Penyelenggaraan Pemilu setiap pemilih dan Parpol
peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak
manapun.
3.
Langsung
Rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
4.
Umum
Semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal
dalam usia, yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut
memilih dalam Pemilu.
5.
Bebas
Setiap warga negara yang memilih menentukan pilihannya
tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.
6.
Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa
pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
2.9
Kesimpulan
Salah satu implementasi
dari nilai demokrasi adalah partisipasi dari masyarakat dalam politik
pemilihan, Budiardjo (2009:367) menyatakan bahwa partisipasi politik adalah
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara
langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selain itu
juga bentuk lain dari partisipasi masyarakat dalam politik antara lain adalah
partisipasi dalam pemilihan umum baik ditingkat nasional maupun ditingkat
daerah.
Akan tetapi dalam
pelaksanaannya dari kurun waktu 1999 sampai dengan pemilu tahun 2014
partisipasi masyarakat dalam pemilu cenderung mengalami penurunan, hal ini
disebabkan oleh berbagai hal salah satunya adalah ketidak percayaan masyarakat
terhadap para calon legislatif yang ada dikarenakan kebanyakan dari para
anggota legislatif yang telah terpilih cenderung hanya mementingkan kepentingan
sendiri dan banyak dari mereka bukannya membela kepentingan masyarakat justru
banyak dari mereka yang melakukan korupsi.
2.10
Saran
Agar
tingkat partisipasi tidak terus mengalami penurunan maka perlu ada tindakan
dari pemerintah agar tingkat partisipasi masyarakat kembali meningkat. Selain
dengan usaha pemerintah masyarakat juga harus ikut andil dalam peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pemilu. Jadi agar partisipasi mengalami
peningkatan perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Budiarjo, Miriam. 1996. Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia
Huntington, Samuel P dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Jakarta: Renika Cipta.
Michael Rush dan Althoff. 1989. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT Rajawali
Nawawi, Hadari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:Gajah Mada University
Press.
Sudijono, Sastroadmojo. 1995. Perilaku Politik.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Tumija. 2009. Budaya Politik, dalam http://tumija.wordpress.com/2009/07/31/budaya-politik/ diakses 27 april 2015
Wayan. 2012. Faktor pendukung partisipasi politik,
dalam http://wayanpolitik.blogspot.com/2012/11/faktor-faktor-pendukung-partisipasi.html
diakses 30 April 2015
Wahyudin, Tur. 2008. Partisipasi Politik, dalam http://turwahyudin.
wordpress.com/2008/04/16/partispasi-politik/ diakses 3 Mei 2015
http://www.3sfirm.com/index.php/journal/41-karya-tulis/98-makalah-02-strategi-peningkatan-partisipasi-masy-pada-pemilu diakses 29 April 2015
[1] Eriyanto,
Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05 September 2007, dikutip dari
www.lsi.co.id
[2] Undang-undang
Politik 2003, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, hal 35
[3] Miriam
Budiarjo,dasar-dasar ilmu politik,(Jakarta:Gramedia,2008)hlm.367
[4] Wahyudi
Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112
[5]
Sudijono, Sastroadmojo,Perilaku Politik,IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74
[6]
Selebihnya dapat diakses di
http://tumija.wordpress.com/2009/07/31/budaya-politik/diakses27april2015
[7]
Selebihnya dapat diakses di http://wayanpolitik.blogspot.com/faktor-faktor-pendukung-partisipasi.html
[8] Michael
Rush dan Althoff,Pengantar Sosiologi Politik,Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal.
131
Elemen-elemen struktur utama seperti pada gambar 3 di kelompok kan menjadi 3 kelompok utama
ReplyDeleteLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia
blog kece
ReplyDeleteblog kece
blog kece
website
ReplyDeletewebsite
website
website
website
website