PANCASILA
SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Oleh: M. Mukhtasar Syamsuddin
Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia mengandung
pengertian sebagai hasil perenungan mendalam dari para tokoh pendiri negara (the founding fathers) ketika berusaha menggali nilai-nilai
dasar dan merumuskan dasar negara untuk
di atasnya didirikan negara Republik Indonesia. Hasil perenungan itu secara
resmi disahkan bersamaan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) Tahun 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada
18 Agustus 1945 sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia.
Kelima dasar atau prinsip yang terdapat dalam sila-sila
Pancasila tersebut merupakan satu kesatuan bagian-bagian sehingga saling berhubungan dan saling bekerjasama
untuk satu tujuan tertentu sehingga dapat disebut sebagai sistem. Pengertian suatu
sistem, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2000: 66) dari Shrode dan Don Voich
memiliki ciri-ciri sebagai berikut; 1) suatu kesatuan bagian-bagian; 2) bagian-bagian
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri; 3) saling
berhubungan, saling ketergantungan; 4) kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai
suatu tujuan bersama (tujuan sistem); dan 5) terjadi dalam suatu lingkungan
yang kompleks.
Berdasarkan pengertian tersebut, Pancasila yang berisi
lima sila, yaitu Sila Ketuhanan yang Maha Esa, Sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Sila Persatuan Indonesia, Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Sila Keadilan Sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia, saling berhubungan membentuk satu kesatuan sistem,
yang dalam proses bekerjanya saling melengkapi dalam mencapai tujuan. Meskipun,
setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, memiliki fungsi
sendiri-sendiri, namun memiliki tujuan tertentu yang sama, yaitu mewujudkan masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Pancasila sebagai sistem filsafat, mengandung pemikiran tentang manusia yang berhubungan denganTuhan,
dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang semua itu dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai sistem filsafat, Pancasila memiliki
ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lain yang ada di dunia, seperti
materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan lain sebagainya.
Kekhasan nilai filsafat yang
terkandung dalam Pancasila berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia, terutama sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa dalam perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Selanjutnya nilai filsafat Pancasila, baik sebagai pandangan hidup atau filsafat hidup (Weltanschauung) bangsa, maupun sebagai
jiwa bangsa atau jatidiri (Volksgeist) nasional itu memberikan identitas dan integritas serta martabat bangsa dalam menghadapi budaya
dan peradaban dunia.
Menurut Darmodihardjo (1979: 86), Pancasila adalah
ideologi yang memiliki kekhasan, yaitu;
1) kekhasan pertama, Tuhan Yang Maha Esa sebab
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa manusia Indonesia percaya adanya
Tuhan;
2) Kekhasan kedua, penghargaan kepada
sesama umat manusia apapun suku bangsa dan bahasanya;
3) kekhasan ketiga, bangsa Indonesia
menjunjung tinggi persatuan bangsa;
4) kekhasan keempat, kehidupan manusia
Indonesia bermasyarakat dan bernegara berdasarkan atas sistem demokrasi; dan
5) kekhasan kelima, keadilan sosial bagi
hidup bersama.
Kelahiran ideologi bersumber dari pandangan hidup yang
dianut oleh suatu masyarakat. Pandangan hidup kemudian berbentuk sebagai
keyakinan terhadap nilai tertentu yang diaktualisasikan dalam kehidupan
masyarakat. Selain itu, ideologi berfungsi sebagai alat membangun solidaritas
masyarakat dengan mengangkat berbagai perbedaan ke dalam tata nilai baru.
Sebagai ideologi, Pancasila berfungsi membentuk
identitas bangsa dan negara Indonesia sehingga bangsa dan negara Indonesia
memiliki ciri khas berbeda dari bangsa dan negara lain. Pembedaan ini
dimungkinkan karena ideologi memiliki ciri selain sebagai pembeda juga sebagai
pembatas dan pemisah dari ideologi lain.
A. Pengertian
Filsafat
Istilah
‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani; filosofia
(philosophia) terususun dari kata philos yang berarti cinta atau philia yang berarti persahabatan,
tertarik kepada dan kata sophos yang
berarti kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis,
inteligensi (Bagus, 1996: 242). Dengan demikian philosophia secara harfiah berarti mencintai kebijaksanaan. Kata kebijaksanaan juga dikenal dalam bahasa Inggris; wisdom.
Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan
upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi
konsep yang bermanfaat bagi peradaban manusia.
Suatu pengetahuan bijaksana akan mengantarkan seseorang mencapai kebenaran.
Orang yang mencintai pengetahuan bijaksana adalah orang yang mencintai
kebenaran. Cinta kebenaran adalah karakteristik dari setiap filsuf dari dahulu
sampai sekarang. Filsuf dalam mencari kebijaksanaan, mempergunakan cara dengan
berpikir sedalam-dalamnya. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya
diharapkan merupakan pengetahuan yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya
mendekati kesempurnaan.
Adapun istilah ‘philosophos’
pertama kali digunakan oleh Pythagoras (572 -497 SM) untuk menunjukkan dirinya
sebagai pecinta kebijaksanaan (lover of
wisdom), bukan kebijaksanaan itu sendiri. Selain Phytagoras, filsuf-filsuf
lain juga memberikan pengertian filsafat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, filsafat
mempunyai banyak arti, tergantung pada bagaimana filsuf-filsuf menggunakannya.
Berikut disampaikan beberapa pengertian filsafat menurut beberapa filsuf, yaitu
antara lain;
1)
Plato (427SM - 347SM);
filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada atau ilmu pengetahuan yang
berminat mencapai kebenaran yang asli;
2)
Aristoteles (384 SM -
322SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di
dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika atau filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda;
3)
Marcus Tullius Cicero
(106 SM - 43SM); filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan
usaha-usaha untuk mencapainya;
4)
Immanuel Kant (1724 - 1804);
filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di
dalamnya empat persoalan, yaitu; “apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh
metafisika), apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika), sampai di
manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)”.
Secara umum, filsafat
merupakan ilmu yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk
memperoleh kebenaran. Berdasarkan pengertian umum ini, ciri-ciri filsafat dapat
disebut sebagai usaha berpikir radikal, menyeluruh, dan integral, atau dapat
dikatakan sebagai suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.
Sejak
kemunculannya di Yunani, dan menyusul perkembangan pesat ilmu pengetahuan,
kedudukan filsafat kemudian dikenal sebagai The
Mother of Science (induk ilmu pengetahuan). Sebagai induk ilmu pengetahuan,
filsafat merupakan muara bagi ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan yang
bersifat positivistik, seperti ilmu komunikasi dan teknologi informasi yang
baru saja muncul dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat
ini. Demikian pulan, dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lain, filsafat
merupakan kegiatan intelektual yang metodis dan sistematis, namun lebih
menekankan aspek reflektif dalam menangkap makna yang hakiki dari segala
sesuatu.
Dalam Kamus
Filsafat, Bagus (1996: 242) mengartikan filsafat sebagai sebuah pencarian. Beranjak
dari arti harfiah filsafat sebagai cinta akan kebijaksanaan, menurut Bagus
(1996: 242-243), arti itu menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara
sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan
kebijaksanaan, namun terus menerus harus mengejarnya. Berkaitan dengan apa yang
dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang
menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh
realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia.
Dalam
pengertiannya sebagai pengetahuan yang menembusi dasar-dasar terakhir dari
segala sesuatu, filsafat memiliki empat cabang keilmuan yang utama, yaitu
sebagai berikut;
1)
Metafisika; cabang
filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang-ada dan yang
mungkin-ada. Metafisika terdiri atas metafisika umum yang selanjutnya disebut
sebagai ontologi, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu yang-ada, dan
metafisika khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas adanya Tuhan,
kosmologi yang membahas adanya alam semesta, dan antropologi metafisik yang
membahas adanya manusia.
2)
Epistemologi; cabang
filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan. Dalam epistemologi, terkandung
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pengetahuan, seperti kriteria apa yang
dapat memuaskan kita untuk mengungkapkan kebenaran, apakah sesuatu yang kita
percaya dapat diketahui, dan apa yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan yang
dianggap benar.
3)
Aksiologi; cabang
filsafat yang menelusuri hakikat nilai. Dalam aksiologi terdapat etika yang
membahas hakikat nilai baik-buruk, dan estetika yang membahas nilai-nilai
keindahan. Dalam etika, dipelajari dasar-dasar benar-salah dan baik-buruk
dengan pertimbangan-pertimbangan moral secara fundamental dan praktis.
Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria yang mengantarkan
sesuatu dapat disebut indah.
4)
Logika; cabang filsafat
yang memuat aturan-aturan berpikir rasional. Logika mengajarkan manusia untuk
menelusuri struktur-struktur argumen yang mengandung kebenaran atau menggali
secara optimal pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya. Bagi para
filsuf, logika merupakan alat utama yang digunakan dalam meluruskan
pertimbangan-pertimbangan rasional mereka untuk menemukan kebenaran dari
problem-problem kefilsafatan.
B. Filsafat Pancasila
Filsafat
Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang
Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk
mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila
dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa
yang mendalam yang dilakukan oleh the founding
fathers Indonesia, yang
dituangkan dalam suatu sistem (Abdul Gani, 1998).
Pengertian filsafat
Pancasila secara umum adalah hasil berpikir atau pemikiran yang
sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini
sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana, dan
paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia.
Filsafat
Pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai kekuasaannya
berakhir pada 1965. Pada saat itu Soekarno selalu menyatakan bahwa Pancasila
merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi
Indonesia, serta merupakan akulturasi budaya India (Hindu-Buddha), Barat
(Kristen), dan Arab (Islam). Filsafat Pancasila menurut Soeharto telah
mengalami Indonesianisasi. Semua sila dalam Pancasila adalah asli diangkat dari
budaya Indonesia dan selanjutnya dijabarkan menjadi lebih rinci ke dalam
butir-butir Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat
Pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak
hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat
Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai
kebahagiaan lahir dan bathin, baik di dunia maupun di akhirat
(Salam, 1988: 23-24).
Sebagai
filsafat, Pancasila memiliki dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis,
seperti diuraikan di bawah ini.
1. Dasar ontologis Pancasila
Dasar-dasar ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas
bahwa Pancasila itu benar-benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas
yang jelas. Melalui tinjauan filsafat, dasar ontologis Pancasila mengungkap
status istilah yang digunakan, isi dan susunan sila-sila, tata hubungan, serta
kedudukannya. Dengan kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat
memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara filosofis.
Kaelan (2002: 69) menjelaskan dasar ontologis Pancasila pada
hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi dasar adanya Pancasila.
Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis
memiliki hal-hal yang mutlak yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa
jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial,
serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan, 2002:72).
Ciri-ciri dasar dalam setiap sila Pancasila mencerminkan
sifat-sifat dasar manusia yang bersifat dwi-tunggal.
Ada hubungan yang bersifat dependen antara Pancasila dengan manusia Indonesia.
Artinya, eksistensi, sifat dan kualitas Pancasila amat bergantung pada manusia
Indonesia. Selain ditemukan adanya manusia Indonesia sebagai pendukung pokok Pancasila,
secara ontologis, realitas yang menjadikan sifat-sifat melekat dan dimiliki Pancasila
dapat diungkap sehingga identitas dan entitas Pancasila itu menjkadi sangat
jelas.
Soekarno menggunakan istilah Pancasila untuk memberi
lima dasar negara yang diajukan. Dua orang sebelumnya Soepomo dan Muhammad
Yamin meskipun menyampaikan konsep dasar negara masing-masing tetapi tidak
sampai memberikan nama. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang didalamnya duduk Soekarno sebagai
anggota, menggunakan istilah Pancasila yang diperkanankan Soekarno menjadi nama
resmi Dasar Negara Indonesia yang isinya terdiri dari lima sila, tidak seperti
yang diusulkan Soekarno melainkan seperti rumusan PPKI yang tercermin dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Berhubung dengan pengertian Pancasila merupakan
kesatuan, menurut Notonagoro (1983: 32), maka lebih seyogyanya dan tepat untuk
menulis istilah Pancasila tidak sebagai dua kata “Panca Sila”, akan tetapi
sebagai satu kata “Pancasila”. Penulisan Pancasila bukan dua kata melainkan
satu kata juga mencerminkan bahwa Pancasila adalah sebuah sistem bukan dua buah
sistem.
Nama Pancasila yang menjadi identitas lima dasar negara
Indonesia adalah bukan istilah yang diperkenalkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945
di depan sidang BPUPKI, bukan Pancasila
yang ada dalam kitab Sutasoma, bukan yang ada dalam Piagam Jakarta, melainkan
yang ada dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukkannya,
Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar filsafat negara. Ada empat macam sebab
(causa) yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk
menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara yaitu sebab berupa materi (causa material), sebab berupa bentuk (causa formalis), sebab berupa
tujuan (causa finalis), dan sebab berupa asal mula karya (causa eficient) (Notonagoro,1983: 25).
Lebih jauh Notonagoro menjelaskan keempat causa
itu seperti berikut; pertama, bangsa
Indonesia sebagai asal mula bahan (causa
materialis) terdapat dalam adaat
kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya, kedua, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Bung Karno yang kemudian bersama-sama
Bung Hatta menjadi Pembentuk Negara, sebagai asal mula bentuk atau bangun (causa formalis) dan asal mula tujuan (causa finalis) dari Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara, ketiga, sejumlah sembilan orang, di antaranya
kedua beliau tersebut ditambah dengan semua anggota BPUPKI yang terdiri atas golongan-golongan
kebangsaan dan agama, dengan menyususn rencana Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 tempat terdapatnya Pancasila, dan juga Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menerima rencana tersebut dengan perubahan
sebagai asal mula sambungan, baik dalam arti asal mula bentuk maupun dalam arti
asal mula tujuan dari Pancasila sebagai Calon Dasar Filsafat Negara. Keempat,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai asal mula karya (causa eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila
sebagai Dasar Filsafat Negara yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar
Filsafat Negara (Notonagoro, 1983: 25-26).
2. Dasar epistemologis Pancasila
Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar
pengetahuan Pancasila. Eksistensi Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan
penyerderhanaan terhadap realitas yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia
dengan lingkungan yang heterogen, multi kultur, dan multi etnik dengan cara
menggali nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan kesamaan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia (Salam, 1998: 29).
Masalah-masalah yang dihadapi yaitu menyangkut keinginan
untuk mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, perdamaian, dan ketentraman. Pancasila
itu lahir sebagai respon atau jawaban atas keadaan yang terjadi dan dialami
masyarakat bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan harapan. Diharapkan Pancasila
menjadi cara yang efektif dalam memecahkan kesulitan hidup yang dihadapi oleh
masyarakat bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki kebenaran korespondensi dari aspek
epistemologis sejauh sila-sila itu secara praktis didukung oleh realita yang
dialami dan dipraktekkan oleh manusia Indonesia. Pengetahuan Pancasila
bersumber pada manusia Indonesia dan lingkungannya. Pancasila dibangun dan berakar
pada manusia Indonesia beserta seluruh suasana kebatinan yang dimiliki.
Kaelan (2002: 96) mengemukakan bahwa Pancasila merupakan
pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,
manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar
bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
kehidupan.
Dasar epistemologis Pancasila juga berkait erat dengan
dasar ontologis Pancasila karena pengetahuan Pancasila berpijak pada hakikat
manusia yang menjadi pendukung pokok Pancasila (Kaelan, 2002: 97). Secara lebih
khusus, pengetahuan tentang Pancasila yang sila-sila di dalamnya merupakan
abstraksi atas kesamaan nilai-nilai yang ada dan dimiliki oleh masyarakat yang
pluralistik dan heterogen adalah epistemologi sosial.
Epistemologi sosial Pancasila juga dicirikan dengan
adanya upaya masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk membebaskan
diri menjadi bangsa merdeka, bersatu, berdaulat dan berketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber pengetahuan Pancasila dapat ditelusuri melalui
sejarah terbentuknya Pancasila. Dalam penelusuran sejarah mengenai kebudayaan
yang berkait dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
telah diuraikan didepan yang secara garis besar dapat dikemukakan sebagai
berikut. Akar sila-sila Pancasila ada dan berpijak pada nilai serta budaya
masyarakat bangsa Indonesia.
Nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia yang
dapat diungkap mulai awal sejarah pada abad IV Masehi di samping diambil dari
nilai asli Indonesia juga diperkaya dengan dimasukkannya nilai dan budaya dari
luar Indonesia. Nilai-nilai dimaksud berasal dari agama Hindu, Budha, Islam,
serta nilai-nilai demokrasi yang dibawa dari Barat. Berdasartkan realitas yang
demikian maka dapat dikatakan bahwa secara epistemologis pengetahuan Pancasila
bersumber pada nilai dan budaya tradisional dan modern, budaya asli dan campuran.
Selain itu, sumber historis itu, menurut tinjauan
epistemologis, Pancasila mengakui kebenaran pengetahuan yang bersumber dari
wahyu atau agama serta kebenaran yang bersumber pada akal pikiran manusia serta
kebenaran yang bersifat empiris berdasarkan pada pengalaman. Dengan sifatnya
yang demikian maka pengetahuan Pancasila mencerminkan adanya pemikiran
masyarakat tradisional dan modern.
3. Dasar aksiologis Pancasila
Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai.
Dari aspek aksiologi, Pancasila tidak bisa dilepaskan dari manusia Indonesia
sebagai latar belakang, karena Pancasila bukan nilai yang ada dengaan
sendirinya (given value) melainkan
nilai yang diciptakan (created value)
oleh manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila hanya bisa dimengerti
dengan mengenal manusia Indonesia dan latar belakangnya.
Nilai berhubungan dengana kajian mengenai apa yang
secara intrinsik, yaitu bernilai dalam dirinya sendiri dan ekstrinsik atau
disebut instrumental, yaitu bernilai sejauh dikaitkan dengan cara mencapai
tujuan. Pada aliran hedonisme yang menjadi nilai intrinsik adalah kesenangan,
pada utilitarianisme adalah nilai manfaat bagi kebanyakan orang (Smart, J.J.C.,
and Bernard Williams, 1973: 71).
Pancasila mengandung nilai, baik intrinsik maupun
ekstrinsik atau instrumental. Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan
antara nilai asli milik bangsa Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya
luar Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa sejarah
abad IV Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan
Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan kawan-kawan pejuang
kemerdekaan Indonesia lain yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke
negara Belanda.
Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai
nilai intrinsik terletak pada diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini
yang membedakan Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum universal. Karena
sifatnya yang universal, maka nilai-nilai itu tidak hanya milik manusia Indonesia,
melainkan manusia seluruh dunia.
Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung
imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses mewujudkan cita-cita negara
bangsa, seharusnya menyesuaikan dengan sifat-sifat yang ada dalam nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai
nilai instrumental, Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas manusia
Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara (mean) dalam mencapai tujuan, bahwa dalam mewujudkan cita-cita
negara bangsa, Indonesia menggunakan cara-cara yang berketuhanan, berketuhanan
yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang menghargai musyawarah
dalam mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan idealitas.
Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam sila-sila Pancasila
berisi nilai yang sudah dipraktekkan dalam hidup sehari-hari oleh bangsa
Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila berisi
nilai-nilai idealitas yaitu nilai yang diingini untuk dicapai.
Menurut Kaelan (2002: 128), nilai-nilai yang terkandung
dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan,
dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Namun, Pancasila
yang pada tahun 1945 secara formal menjadi das Sollen bangsa Indonesia,
sebenarnya diangkap dari kenyataan real yang berupa prinsip-prinsip dasar yang
terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau
kepercayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Kaelan
(2002: 129) Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila
merupakan Sein im Sollen. Pancasila merupakan harapan, cita-cita, tapi
sekaligus adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai
tingkatan dan bobot yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu tidak
saling bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu
substansi, Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan
organik (organic whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula.
Nilai-nilai itu saling berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak
dapat dipisahkan dari nilai yang lain. Atau nilai-nilai yang dimiliki bangsa
Indonesia itu akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku
dan perbuatan bangsa Indonesia (Kaelan, 2002: 129).
Notonagoro (1983: 39) menyatakan bahwa isi arti dari
Pancasila yang abstrak itu hanya terdapat atau lebih tepat dimaksudkan hanya
terdapat dalam pikiran atau angan-angan, justru karena Pancasila itu merupakan
cita-cita bangsa, yang menjadi dasar falsafah atau dasar kerokhanian negara.
Tidak berarti hanya tinggal di dalam pikiran atau angan-angan saja, tetapi ada
hubungannya dengan hal-hal yang sungguh-sungguh ada. Adanya Tuhan, manusia,
satu, rakyat, dan adil adalah tidak bisa dibantah.
C. Hakikat sila-sila
Pancasila
Kata ‘hakikat’ dapat
diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala
sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu
itu, sehingga terpisah dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak. Ditunjukkan
oleh Notonagoro (1975: 58), hakikat segala sesuatu mengandung kesatuan mutlak
dari unsur-unsur yang menyusun atau membentuknya. Misalnya hakikat air terdiri
atas dua unsur mutlak yaitu hidrogen dan oksigen. Kebersatuan kedua unsur
tersebut bersifat mutlak untuk mewujudkan air. Dengan kata lain, kedua unsur
tersebut secara bersama-sama menyusun air sehingga terpisah dari benda yang
lainnya misalnya dengan batu, kayu, air raksa dan lain sebagainya.
Terkait dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian
kata ‘hakikat’ dapat dipahami dalam tiga kategori, yaitu;
1) Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat
umum yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah.
Hakikat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata; ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Menurut bentuknya Pancasila terdiri atas
kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil yang dibubuhi awalan dan
akhiran, berupa ke dan an (sila I, II, IV, dan V), sedangkan yang satu berupa
per dan an (sila III). Kedua macam awalan dan akhiran itu mempunyai kesamaan
dalam maksudnya yang pokok, ialah membikin abstrak atau mujarad, tidak maujud
atau lebih tidak maujud arti daripada kata dasarnya (Notonagoro, 1967: 39).
2) Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus,
artinya terikat kepada barang sesuatu. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada ciri-ciri
khusus sila-sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat,
nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang melekat pada
bangsa Indonesia sehingga membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain
di dunia. Sifat-sifat dan ciri-ciri ini tetap melekat dan ada pada bangsa
Indonesia. Hakikat pribadi inilah yang realisasinya sering disebut sebagai
kepribadian, dan totalitas kongkritnya disebut kepribadian Pancasila.
3) Hakikat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam
kenyataannya. Hakikat kongkrit Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai
dasar filsafat negara. Dalam realisasinya, Pancasila adalah pedoman praktis,
yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara, bangsa dan negara
Indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari-hari, tempat, keadaan dan waktu.
Dengan realisasi hakikat kongkrit itu, pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan
negara setiap hari bersifat dinamis, antisipatif, dan sesuai dengan
perkembangan waktu, keadaan, serta perubahan zaman (Notonagoro, 1975: 58-61).
Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro
(1967: 32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut,
diuraikan sebagai berikut;
1. Kesatuan sila-sila Pancasila dalam
struktur yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal
Susunan secara hirarkhis mengandung pengertian bahwa
sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang, yaitu sila yang ada di atas
menjadi landasan sila yang ada di bawahnya. Sila pertama melandasi sila kedua,
sila kedua melandasi sila ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila
keempat melandasi sila kelima. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk
menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila Pancasila menurut urut-urutan luas
(kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Dengan demikian,
diperoleh pengertian bahwa menurut urut-urutannya, setiap sila merupakan
pengkhususan dari sila-sila yang ada dimukanya.
Dalam susunan heararkhis dan piramidal, sila Ketuhanan
yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan
keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan
Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya,
sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya.
Secara ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai
suatu sistem yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61
dan 1975: 52, 57), bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya
sendiri, Tuhan sebagai causa prima.
Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan
Tuhan atau manussia ada sebagai akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia
adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga
kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya
adalah manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat
adanya manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan
hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur
negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah totalitas
individu-individu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun keadilan yang
pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya
sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.
2.
Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi
dan saling mengkualifikasi
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan
pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam kerangka
hubungan hierarkhis piramidal seperti di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap
sila mengandung empat sila lainnya atau dikualifikasi oleh empat sila lainnya.
Untuk kelengkapan hubungan kesatuan
keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan dengan rumusan hierarkhis
piramidal tersebut, berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang
saling mengisi dan saling mengkualifikasi.
a)
Sila pertama; Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia;
b)
Sila kedua; kemanusiaan
yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia;
c)
Sila ketiga; persatuan
Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadila sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
d)
Sila keempat; kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia;
e)
Sila kelima; keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro,
1975: 43-44).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Gani, Ruslan, 1998, Pancasila dan
reformasi, Makalah Seminar Nasional KAGAMA, 8 Juli 1998 di Yogyakarta
Bagus,
Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta:
PT. Gramedia
Kaelan,
2000, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta:
Paradigma Offset
-----------------,
2002, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Paradigma Offset
Notonagoro,
1967, Beberapa hal mengenai Falsafah Pancasila; Pengertian Inti-Isi Mutlak
daripada Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pokok Pangkal Pelaksanaan Secara
Murni dan Konsekuen, Cetakan Kedua,
Jakarta: Pancuran Tudjuh
----------------,
1983, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Cetakan Kelima, Jakarta: Bina Aksara
Salam,
H. Burhanuddin, 1998, Filsafat
Pancasilaisme, Jakarta: Rineka Cipta
Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973, Utilitarianism; For and Against, United Kingdom, Cambridge
University Press
Comments
Post a Comment