PANCASILA
SEBAGAI
IDEOLOGI NEGARA
Dr. Encep Syarief
Nurdin, M.Pd., M.Si.
Ideologi di
negara-negara yang baru merdeka dan sedang berkembang, menurut Prof.
W. Howard Wriggins, berfungsi sebagai sesuatu
yang “confirm and deepen the identity of
their people” (sesuatu yang memperkuat dan
memperdalam identitas rakyatnya). Namun,
ideologi di negara-negara tersebut, menurutnya, sekedar
alat bagi rezim-rezim yang baru berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ideologi ialah alat untuk mendefinisikan aktivitas politik yang berkuasa, atau
untuk menjalankan suatu politik “cultural
management”, suatu muslihat manajemen budaya (Abdulgani, 1979: 20). Oleh
sebab itu, kita akan menemukan beberapa penyimpangan para pelaksana ideologi di
dalam kehidupan di setiap negara. Implikasinya ideologi memiliki fungsi penting
untuk penegas identitas bangsa atau untuk menciptakan rasa kebersamaan sebagai
satu bangsa. Namun di sisi lain, ideologi rentan disalahgunakan oleh elit
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.
Ideologi
itu, menurut Oesman dan Alfian (1990: 6),
berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat
menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau
bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup bangsa mereka. Ideologi merupakan
kerangka penyelenggaraan negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Ideologi
bangsa adalah cara pandang suatu bangsa dalam menyelenggarakan negaranya.
Ideologi adalah suatu sistem nilai yang terdiri atas nilai dasar yang menjadi
cita-cita dan nilai instrumental yang berfungsi sebagai metode atau cara
mewujudkan cita-cita tersebut. Menurut Alfian (1990) kekuatan ideologi
tergantung pada kualitas tiga dimensi yang terkandung di dalam dirinya.
Pertama,
adalah dimensi realita, bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi
itu secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama
karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman
sejarahnya.
Kedua,
dimensi idealisme, bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung
idealisme, bukan lambungan angan-angan, yang memberi harapan tentang masa depan
yang lebih baik melalui perwujudan atau pengalamannya dalam praktik kehidupan
bersama mereka sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
Ketiga, dimensi
fleksibilitas atau dimensi pengembangan, bahwa ideologi tersebut memiliki
keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan
pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan atau
mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya
(Oesman dan Alfian, 1990: 7-8).
Selain itu,
menurut Soerjanto Poespowardojo (1990), ideologi mempunyai beberapa fungsi,
yaitu memberikan:
1.
Struktur kognitif, yaitu keseluruhan
pengetahuan yang didapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan
dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitranya.
2.
Orientasi dasar dengan membuka
wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
3.
Norma-norma yang menjadi pedoman dan
pegangan bagi seseorang untuk melangkah dan betindak.
4.
Bekal dan jalan bagi seseorang untuk
menemukan identitasnya.
5.
Kekuatan yang mampu menyemangati dan
mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuannya.
6.
Pendidikan bagi seseorang atau
masyarakat untuk memahami, menghayati serta memolakan tingkah lakunya sesuai
dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya (Oesman dan
Alfian, 1990: 48).
Dalam konteks Indonesia, Perhimpunan Indonesia
(PI) yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta (1926-1931) di Belanda, sejak
1924 mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya,
bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip:
persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi dan kemandirian (self-help) (Latif, 2011: 5). Sekitar
tahun yang sama, Tan Malaka mulai menulis buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia
percaya bahwa paham kedaulatan rakyat memiliki akar yang kuat dalam tradisi
masyarakat Nusantara. Keterlibatannya dengan organisasi komunis internasional
tidak melupakan kepekaannya untuk memperhitungkan kenyataan-kenyataan nasional
dengan kesediaannya untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur revolusioner
lainnya. Dia pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunisme Internasional) agar
komunisme di Indonesia harus bekerjasama dengan Pan-Islamisme karena,
menurutnya, kekuatan Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja.
Hampir bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai mengidealisasikan suatu
sintesis antara Islam, sosialisme dan demokrasi (Latif, 2011: 6).
Soepomo,
dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945, memberikan tiga pilihan ideologi,
yaitu: (1) paham indvidualisme, (2) paham kolektivisme dan (3) paham
integralistik. Beliau dengan sangat meyakinkan menolak paham individualisme dan
kolektivisme, dan menyarankan paham integralistik yang dinilai sesuai dengan
semangat kekeluargaan yang berkembang di pedesaan. Paham integralistik
merupakan kerangka konseptual makro dari apa yang sudah menjiwai rakyat kita di
kesatuan masyarakat yang kecil-kecil itu (Moerdiono dalam Oesman dan Alfian
(ed), 1990: 40).
Pancasila
sebagai ideologi Indonesia mempunyai ajaran-ajaran yang memang mengandung
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi lain. Ajaran yang dikandung
Pancasila bahkan dipuji oleh seorang filsuf Inggris, Bertrand
Russel, yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai sintesis kreatif antara Declaration of American Independence
(yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis
(yang mereprensentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu, seorang ahli
sejarah, Rutgers, mengatakan, “Dari
semua negara-negara Asia Tenggara, Indonesia-lah yang dalam Konstitusinya,
pertama-tama dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang
sesungguhnya daripada revolusi melawan penjajah. Dalam filsafat negaranya,
yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan
secara lebih mendalam dari revolusi-revolusi itu (Latif, 2011: 47). Dari
pendapat tersebut, Indonesia pun pernah merasakan berkembangnya nilai-nilai
ideologi-ideologi besar dunia berkembang
dalam gerak tubuh pemerintahannya.
A.
Pancasila
dan Liberalisme
Periode
1950-1959 disebut periode pemerintahan demokrasi liberal. Sistem parlementer
dengan banyak partai politik memberi nuansa baru sebagaimana terjadi di dunia Barat.
Ketidakpuasan dan gerakan kedaerahan cukup kuat pada periode ini,
seperti PRRI dan Permesta pada tahun 1957 (Bourchier dalam Dodo dan Endah (ed),
2010: 40). Keadaan tersebut mengakibatkan perubahan yang begitu signifikan
dalam kehidupan bernegara.
Pada
1950-1960 partai-partai Islam sebagai hasil pemilihan umum 1955 muncul sebagai
kekuatan Islam, yaitu Masyumi, NU dan PSII, yang sebenarnya merupakan kekuatan
Islam di Parlemen tetapi tidak dimanfaatkan dalam bentuk koalisi. Meski PKI
menduduki empat besar dalam Pemilu 1955, tetapi secara ideologis belum merapat
pada pemerintah. Mengenai Pancasila itu dalam posisi yang tidak ada perubahan,
artinya Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia meski dengan
konstitusi 1950 (Feith dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 40).
Indonesia
tidak menerima liberalisme dikarenakan individualisme Barat yang mengutamakan
kebebasan makhluknya, sedangkan paham integralistik yang kita anut memandang
manusia sebagai individu dan sekaligus juga makhluk sosial (Alfian dalam Oesman
dan Alfian, 1990: 201). Negara demokrasi model Barat
lazimnya bersifat sekuler, dan hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen
bangsa Indonesia (Kaelan, 2012: 254). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat
Kaelan yang menyebutkan bahwa negara liberal memberi kebebasan kepada warganya
untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya
masing-masing. Namun dalam negara liberal diberikan kebebasan untuk tidak
percaya terhadap Tuhan atau atheis, bahkan negara liberal memberi kebebasan
warganya untuk menilai dan mengkritik agama. Berdasarkan pandangan
tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa sistem negara liberal membedakan dan
memisahkan antara negara dan agama atau bersifat sekuler (Kaelan, 2000: 231).
Berbeda dengan Pancasila, dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa telah
memberikan sifat yang khas kepada negara Indonesia,
yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisah-misahkan agama dengan negara
(Kaelan, 2000: 220).
Tentang
rahasia negara-negara liberal, Soerjono Poespowardojo mengatakan bahwa kekuatan
liberalisme terletak dalam menampilkan individu yang memiliki martabat
transenden dan bermodalkan kebendaan pribadi. Sedangkan kelemahannya terletak
dalam pengingkaran terhadap dimensi sosialnya sehingga tersingkir tanggung
jawab pribadi terhadap kepentingan umum (Soeprapto dalam Nurdin, 2002: 40-41). Karena
alasan-alasan seperti itulah antara lain kenapa Indonesia tidak cocok
menggunakan ideologi liberalisme.
B.
Pancasila
dan Komunisme
Dalam periode
1945-1950 kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sudah kuat. Namun, ada
berbagai faktor internal dan eksternal yang memberi nuansa tersendiri terhadap kedudukan
Pancasila. Faktor eksternal mendorong bangsa Indonesia untuk menfokuskan diri
terhadap agresi asing apakah pihak Sekutu atau NICA yang merasa masih memiliki
Indonesia sebagai jajahannya. Di pihak lain, terjadi pergumulan yang secara
internal sudah merongrong Pancasila sebagai dasar negara, untuk diarahkan ke
ideologi tertentu, yaitu gerakan DI/TII yang akan mengubah Republik Indonesia
menjadi negara Islam dan Pemberontakan PKI yang ingin mengubah RI menjadi
negara komunis (Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1982/83
kemudian dikutip oleh Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 39).
Pada tanggal
5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke
UUD 1945, berarti kembali ke Pancasila. Pada suatu kesempatan, Dr. Johanes
Leimena pernah mengatakan, “Salah
satu faktor lain yang selalu dipandang sebagai
sumber krisis yang paling berbahaya adalah komunisme. Dalam situasi di mana kemiskinan memegang peranan dan
dalam hal satu golongan saja menikmati kekayaan alam, komunisme dapat diterima
dan mendapat tempat yang subur di tengah-tengah masyarakat”. Oleh karena itu,
menurut Dr. Johanes Leimena, harus ada
usaha-usaha yang lebih keras untuk meningkatkan kemakmuran di daerah
pedesaan. Cara lain untuk memberantas
komunisme ialah mempelajari dengan seksama ajaran-ajaran komunisme itu.
Mempelajari ajaran itu agar tidak mudah dijebak oleh rayuan-rayuan komunisme.
Bagi orang Kristen, ajaran komunisme bisa menyesatkan karena bertentangan
dengan ajaran Kristus dan falsafah Pancasila (Pieris, 2004: 212).
Komunisme
tidak pernah diterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan
negara komunisme lazimnya bersifat atheis yang menolak agama dalam suatu Negara.
Sedangkan Indonesia sebagai negara
yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan pilihan kreatif dan
merupakan proses elektis inkorporatif. Artinya pilihan negara yang berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa adalah khas dan nampaknya sesuai dengan kondisi objektif
bangsa Indonesia (Kelan, 2012: 254-255).
Selain itu,
ideologi komunis juga tidak menghormati manusia sebagai makhluk individu.
Prestasi dan hak milik individu tidak diakui. Ideologi komunis bersifat
totaliter, karena tidak membuka pintu sedikit pun
terhadap alam pikiran lain. Ideologi semacam ini bersifat otoriter dengan
menuntut penganutnya bersikap dogmatis, suatu ideologi yang bersifat tertutup.
Berbeda dengan Pancasila yang bersifat terbuka, Pancasila memberikan
kemungkinan dan bahkan menuntut sikap kritis dan rasional. Pancasila bersifat
dinamis, yang mampu memberikan jawaban atas tantangan yang berbeda-beda dalam
zaman sekarang (Poespowardojo, 1989: 203-204).
Pelarangan
penyebaran ideologi komunis ditegaskan dalam Tap
MPR No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran
PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk
menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme dan
leninisme yang diperkuat dengan Tap MPR No. IX/MPR/1978 dan Tap MPR No
VIII/MPR/1983.
C.
Pancasila
dan Agama
Pancasila
yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dan agama merupakan
karya besar bangsa Indonesia melalui The
Founding Fathers Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri
negara yang tertuang dalam Pancasila merupakan karya khas yang secara
antropologis merupakan local genius
bangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam Kaelan, 2012). Begitu pentingnya
memantapkan kedudukan Pancasila, maka Pancasila pun mengisyaratkan bahwa
kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan menurut
terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang
maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan juga
Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Menurut
Notonegoro (dalam Kaelan,
2012: 47), asal mula Pancasila secara langsung salah satunya asal mula bahan (Kausa
Materialis) yang menyatakan bahwa “bangsa Indonesia adalah sebagai asal
dari nilai-nilai Panasila, …yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa
nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat
dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia”.
Sejak zaman
purbakala hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyarakat Nusantara
telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14 abad
pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar)
4 abad pengaruh Kristen (Latif, 2011: 57). Dalam buku Sutasoma karangan Empu
Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal Bhinneka Tunggal Ika.
Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan
Hanna Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda, satu jua adanya, sebab
tidak ada agama yang mempunyai tujuan yang berbeda (Hartono, 1992: 5).
Kuatnya faham
keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa
tidak dapat membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade 1920-an, ketika
Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi
komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas
dari Ketuhanan (Latif, 2011: 67). Secara lengkap pentingnya dasar Ketuhanan
ketika dirumuskan oleh founding fathers negara kita dapat dibaca pada
pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara (philosophische
grondslag) yang menyatakan,
“Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w,
orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan
hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”
(Zoelva, 2012).
Pernyataan
ini mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan akan eksistensi agama-agama di
Indonesia yang, menurut Ir. Soekarno, “mendapat tempat yang sebaik-baiknya”.
Kedua, posisi negara terhadap agama, Ir. Soekarno menegaskan bahwa “negara kita
akan ber-Tuhan”. Bahkan dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan,
“Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Indonesia
berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2)
Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118).
Jelaslah
bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan
ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila
yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima
causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran
tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan
perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia
(Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip
ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari - atau sekurang-kurangnya diilhami
oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir.
Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan keterangan Mohamad Roem.
Pemimpin Masyumi yang terkenal ini menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu
Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat
kesan bahwa pikiran-pikiran para anggota yang
berbicara sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan
sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting. Komentar Roem, “Pidato penutup yang
bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan sebelumnya” (Thalib dan
Awwas, 1999: 63).
Prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia Indonesia harus mengabdi
kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan
mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bisa
mempersekutukannya. Dalam bahasa formal yang telah disepakati bersama sebagai
perjanjian bangsa sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”. Di mana pengertian arti kata Tuhan
adalah sesuatu yang kita taati perintahnya dan kehendaknya. Prinsip dasar
pengabdian adalah tidak boleh punya dua tuan, hanya satu tuannya,
yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi misi utama tugas para
pengemban risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu Tuan, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa (Kitab Ulangan 6:4-5, Matius 6:24, Lukas 16: 13, Quran surat: Al
Mu’minun [23]: 23 dan 32) (Mulyantoro,
2012).
Pada
saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara didefinisikan
melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak memasukkan
kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan agama dan politik
atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal
tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama pun
sebagai agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya
terhadap masyarakat yang plural dan egaliter. Namun, dengan hanya mengakui lima
agama (sekarang menjadi 6 agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha dan Konghucu) secara resmi, negara Indonesia membatasi pilihan
identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh warga negara. Pandangan yang dominan
terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia secara jelas menyebutkan
tempat bagi orang yang menganut agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang
tidak menganutnya. Pemahaman ini juga memasukkan kalangan sekuler yang menganut
agama tersebut, tapi tidak memasukkan kalangan sekuler yang tidak menganutnya.
Seperti yang telah ditelaah Madjid, meskipun Pancasila berfungsi sebagai
kerangka yang mengatur masyarakat di tingkat nasional maupun lokal, sebagai
individu orang Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan
hidup personal yang berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).
Gagasan asas
tunggal menimbulkan pro dan kontra selama tiga tahun diundangkan dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengharuskan
mendaftar ulang bagi semua ORMAS dan sekaligus mengharuskan
semua ORMAS menerima asas tunggal yang diberi batas akhir sampai tanggal 17
Juli 1987. Golongan yang kontra bukan menolak Pancasila dan UUD 1945, melainkan
ada kekhawatiran bahwa dengan menghapuskan asas “Islam”, Pancasila akan menjadi
“agama baru” (Moesa, 2007: 123-124). Dalam perkembangannya, kyai
yang tergabung dalam organisasi NU yang pertama kali menerima Pancasila sebagai
Asas Tunggal. KH. As’ad Syamsul Arifin menegaskan bahwa sebagian besar kyai
dan umat Islam Indonesia berpendapat bahwa menerima Pancasila hukumnya wajib
(Moesa, 2007: 124) .
Dalam
hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan saling
menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya
tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih
salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya
Kiai Achamd Siddiq menyatakan bahwa salah satu hambatan utama bagi
proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan
kekhawatiran yang datang dari dua arah (Zada dan Sjadzili (ed), 2010: 79).
Pancasila
menjamin umat beragama dalam menjalankan ibadahnya.
Dalam kalimat Menteri Agama (1983-1993), H. Munawir Sjadzali menyatakan,
“Kata-kata ‘negara menjamin’ tidak
dapat diartikan sekuler karena apabila demikian, negara atau pemerintah harus hands
off dari segala pengaturan kebutuhan hukum bagi para pemeluk
agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di negara sekuler Pemerintah tidak
akan mendirikan tempat-tempat ibadah (Ahmad, 1996: 9-10).
Agama-agama
dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa semua golongan beragama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara terus-menerus
dan bersama-sama meletakkan landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi
pembangunan nasional sebagai pengalaman
Pancasila (Soetarman, 1996: 64). Dalam konteks pelaksanaan mandat GBHN ini (meskipun GBHN secara formal sudah tidak berlaku tapi
spirit hubungan agama dan pembangunan masih sesuai), maka agama-agama
harus mampu mengembangkan kerja sama dalam rangka menghadapi masalah-masalah
yang dihadapi bersama (Soetarman, 1996: 65).
Pancasila dan
agama dapat diaplikasikan seiring sejalan dan saling mendukung. Agama dapat
mendorong aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula Pancasila memberikan
ruang gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan pemahaman,
penghayatan dan pengamalan agama (Eksan, 2000). Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun
menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi untuk melihat apakah
nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap menjadi
referensi umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi
Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang akan menjamin semua pihak dapat
menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan Alfian,
1990: 167-168).
Moral
Pancasila bersifat rasional, objektif dan universal dalam arti berlaku bagi
seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila juga dapat disebut otonom karena
nilai-nilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat manusia Indonesia, dan
dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan
adanya bantuan dari nilai-nilai agama, adat, dan budaya, karena secara de facto nilai-nilai Pancasila berasal
dari agama-agama serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja nilai-nilai yang
hidup tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, tetapi memberikan
bantuan dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177).
Sejalan
dengan pendapat tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan
dalam Sambutan pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2005.
Bangsa
kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang menjunjung
tinggi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Karena itu,
setiap umat beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan
nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita akan
menempatkan falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan
sedalam-dalamnya bahwa lima sila di dalam
Pancasila itu selaras dengan ajaran agama-agama
yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita dapat menghindari
adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai falsafah negara (Yudhoyono dalam
Wildan (ed.), 2010: 172).
Dengan
penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh kekuatan bangsa, sebenarnya tidak ada
alasan lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai Pancasila dengan agama mana pun
di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40
tahun dalam perhitungan Maarif, sebuah pergulatan sengit yang telah menguras
energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari pergumulan panjang itu, sekarang
secara teoretik dari kelima nilai Pancasila tidak satu pun lagi yang dianggap
berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci
oleh sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” dari sudut
pemahaman saya sebagai seorang Muslim, sejalan dan senyawa dengan doktrin
tauhid yang menuntut tegaknya keadilan di muka bumi (Maarif, 2012).
Kaelan (dalam Wahyudi
(ed.), 2009: 243-246) memetakan persoalan
yang menyangkut hubungan agama dengan Pancasila, yang dikelompokkan dalam tiga
tahap, yaitu:
Pertama,
terjadi ketika kaum “nasionalis” mengajukan Pancasila sebagai dasar filsafat
negara menjelang kemerdekaan Indonesia. Para tokoh pendiri negara dari kelompok
nasionalis Islam dan nasionalis terlibat
perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan
didirikan kemudian.
Kedua, respon
umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru
mengajukan P-4 untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya banyak
tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun kemudian menerimanya.
Ketiga,
ketika tahun 1985 pemerintah mengajukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi
semua organsiasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Kebijakan ini banyak
mendapatkan tantangan dari umat Islam bahkan terdapat beberapa ormas yang
dibekukan karena asas tersebut.
Namun untuk
menengahi permasalahan tersebut, Abdurrahman Wahid (Oesman dan Alfian (ed),
1990: 167-168) secara gamblang menyatakan bahwa “agama tetap menjadi referensi
umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila
sebagai “polisi lalu lintas” yang menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan
raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali”. Sejalan dengan pendapat tersebut,
tokoh Masyumi,
Muhammad Roem, berpendapat bahwa kita sepakat tentang
dasar negara mengenai Ketuhanan Yang Maha
Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada Tuhan menurut agamanya
sendiri-sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita dapat mendirikan negara
yang kuat sentosa karena esensi dari agama, ialah
hidup berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan kasih sayang terhadap sesama
makhluk (Roem dan Salim, 1977: 116).
Bilamana
dirinci, maka hubungan negara dengan agama menurut NKRI yang berdasarkan
Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):
a.
Negara adalah berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa.
b.
Bangsa Indonesia adalah sebagai
bangsa yang ber-Ketuhanan
yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
c.
Tidak ada tempat bagi atheisme
dan sekularisme karena hakikatnya manusia berkedudukan kodrat sebagai makhluk
Tuhan.
d.
Tidak ada tempat bagi pertentangan
agama, golongan agama, antar dan inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
e.
Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama
karena ketakwaan itu bukan hasil peksaan bagi siapapun juga.
f.
Memberikan toleransi terhadap orang
lain dalam menjalankan agama dalam negara.
g.
Segala aspek dalam melaksanakan dan
menyelenggatakan negara harus sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa
terutama norma-norma Hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun
moral para penyelenggara negara.
h.
Negara pda hakikatnya adalah
merupakan “…berkat rahmat Allah yang Maha Esa”.
Berdasarkan
kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.),
2009: 58), dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius.
Religiusitas bangsa Indonesia ini, secara filosofis merupakan nilai fundamental
yang meneguhkan eksistensi negara Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar kerohanian bangsa dan
menjadi penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin
keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin hubungan selaras dan harmonis antara
agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila wajib
memberikan perlindungan kepada agama-agama di Indonesia.
D. Penutup
Rodee dkk
(1995: 54) menyatakan bahwa homogenitas kebudayaan adalah suatu kekuatan luar
biasa yang bekerja atas nama identitas nasional. Pada paparan selanjutnya,
secara implisit Rodee menyatakan bahwa identitas
nasional akan berpengaruh terhadap kestabilan negara. Realitas negara dan
bangsa Indonesia teramat heterogen secara budaya, bahkan paling heterogen di
dunia, lebih dari itu merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi
tersebut mensyaratkan hadirnya ideologi negara yang dihayati dan diamalkan oleh
seluruh komponen bangsa.
Implikasinya,
fungsi ideologi negara bagi bangsa Indonesia amat penting
dibandingkan dengan pentingnya ideologi bagi negara-negara lain terutama yang bangsanya
homogen. Bagi bangsa Indonesia, ideologi sebagai identitas nasional merupakan
prasyarat kestabilan negara, karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
heterogen. Hadirnya ideologi Pancasila tersebut, paling tidak akan berfungsi
untuk: 1) menggambarkan cita-cita bangsa,
ke arah mana bangsa ini akan bergerak; 2) menciptakan rasa kebersamaan dalam
keluarga besar bangsa Indonesia sesuai dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika; dan
3) menggairahkan seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan
negara Republik Indonesia.
Ada ha-hal
yang amat penting dalam melaksanakan ideologi negara Pancasila, agar ideologi
tidak disalahgunakan terutama dijadikan alat untuk memperoleh atau
mempertahankan kekuasaan oleh elit politik. Maka untuk itu, bangsa Indonesia
harus melaksanakan nilai-nilai instrumental ideologi Pancasila yaitu taat asas
terhadap nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada pada Pembukaan UUD 1945
dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.[ ]
Daftar Pustaka
Abdulgani,
Roeslan, 1979, Pengembangan Pancasila di Indonesia,
Yayasan Idayu, Jakarta.
Ahmad,
Amrullah dkk., 1996, Dimensi
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
Gema Insani, Depok.
Ali
As’ad Said, 2009, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Pustaka LP3ES, Jakarta.
An-Na’im,
Abdullahi Ahmed, 2007, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah,
PT Mizan Pustaka, Bandung.
Anshoriy,
HM. Nasruddin, 2008, Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan,
LKiS, Yogyakarta.
Chaidar,
Al, 1998, Reformasi Prematur: Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total,
Darul Falah, Jakarta.
Dodo,
Surono dan Endah (ed.),
2010,
Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan
Implementasinya,
PSP-Press, Yogyakarta.
Eksan,
Moch., 2000, Kiai Kelana, LkiS, Yogyakarta.
Hartono,
1992,
Pancasila Ditinjau dari Segi Historis,
PT Rineka Cipta, Jakarta.
Kaelan,
2012,
Problem Epistemologis
Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara,
Paradigma, Yogyakarta.
_____, 2000, Pendidikan Pancasila,
Paradigma, Yogyakarta.
_____, dalam Proceeding Kongres Pancasila
yang diselenggarakan di Yogtakarta pada tanggal 30 Mei sampai 1 Juni 2012.
Latif,
Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas
Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Maarif,
Ahmad Syafii. 2012. “Strategi Pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila
dalam Perspektif Agama, Sosial dan Budaya”, Makalah pada
Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta tanggal 31 Mei-1 Juli 2012.
Moesa,
Ali Maschan, 2007, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama,
LKiS, Yogyakarta.
Mulyantoro,
Heru. 2012. “Quantum Leap Pancasila, Membangun
Peradaban Bangsa dengan Karakter Tuhan Yang Maha Esa”, Makalah
pada Kongres Pancasila IV di UGM Yogyakarta tanggal 31 Mei-1
Juni 2012.
Nurdin,
Encep Syarief, 2002, Konsep-Konsep Dasar Ideologi: Perbandingan Ideologi Besar Dunia,
CV Maulana, Bandung.
Oesman,
Oetojo dan Alfian (Ed.),
1990,
Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,
BP-7 Pusat, Jakarta.
Pieris,
John, 2004, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban-Analisis Kritis Aspek:
Politik, Ekonomi, Sosial-budaya dan Keamanan,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Poespowardojo,
Soerjono, 1989, Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, PT
Gramedia, Jakarta.
Roem,
Muhammad dan Agus Salim, 1977, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Lahirnya Pancasila, Bulan
Bintang, Jakarta.
Rodee,
Carlton Clymer dkk., 1995, Pengantar Ilmu Politik,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soetarman
dkk., 1996, Fundamentalisme, Agama-Agama dan Teknologi,
PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Thalib,
Muhammad dan Irfan S Awwas, 1999,
Doktrin Zionisme dan Idiologi Pancasila, Menguak Tabir
Pemikiran Politik Founding Fathers Republik Indonesia,
Wihdag Press, Yogyakarta.
Wahyudi,
Agus dkk. (ed.),
2009,
Proceeding: Kongres Pancasila, Pancasila dalam Berbagai Perspektif,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Wildan,
Dadan dkk. (ed.),
2010,
Perspektif Pemikiran SBY: Revitalisasi dan Reaktualisasi
Nilai-Nilai Agama, Pendidikan dan Sosial Budaya,
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Zada,
Khamami dan A. Fawaid Sjadzili (Ed.),
2010,
Nahdltul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, PT.
Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Zoelva,
Hamdan, 2012, “Pelembagaan
Nilai-nilai Pancasila dalam Perspektif Kehidupan Beragama, Sosial dan Budaya
Melalui Putusan MK”, Makalah yang disajikan pada Kongres Pancasia
IV di UGM Yogyakarta pada tanggal 31 Mei – 1 Juni 2012.
Comments
Post a Comment