PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
Oleh:
M. Mukhtasar Syamsuddin
Dasar negara Indonesia, dalam pengertian historisnya merupakan hasil
pergumulan pemikiran para pendiri negara (The
Founding Fathers) untuk menemukan landasan atau pijakan yang kokoh untuk di
atasnya didirikan negara Indonesia merdeka. Walaupun rumusan dasar negara itu baru
mengemuka pada masa persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), namun bahan-bahannya telah dipersiapkan sejak awal
pergerakan kebangsaan Indonesia. Latif (2002: 5) menyebutkan bahwa setidaknya
sejak dekade 1920-an pelbagai kreativitas intelektual mulai digagas sebagai
usaha mensintesiskan aneka ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka membentuk
“blok historis” (blok nasional) bersama demi mencapai kemerdekaan.
BPUPKI yang selanjutnya disebut dalam bahasa Jepang sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk pada 29 April 1945 sebagai realisasi
janji kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945 dari pemerintah Jepang.
Anggota BPUPKI berjumlah 63 orang termasuk Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat
sebagai ketua, Itibangase Yosio (anggota luar biasa yang berkebangsaan Jepang)
dan R. Pandji Soeroso (merangkap Tata Usaha) masing-masing sebagai wakil ketua
(Lihat susunan keanggotaan BPUPKI). Pembicaraan
mengenai rumusan dasar negara Indonesia melalui sidang-sidang BPUPKI
berlangsung dalam dua babak, yaitu; pertama, mulai 29 Mei sampai 1 Juni 1945; dan
kedua, mulai 10 Juli sampai 17 Juli 1945.
Pergumulan pemikiran dalam sejarah perumusan dasar negara Indonesia
bermula dari permintaan Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua BPUPKI pada
29 Mei 1945 kepada anggota sidang untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia
merdeka. Untuk merespon permintaan Ketua BPUPKI, maka dalam masa sidang
pertama, yaitu 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Muhammad Yamin dan Soekarno
mengajukan usul berhubungan dengan dasar negara. Soepomo juga menyampaikan pandangannya
dalam masa sidang ini namun hal yang dibicarakan terkait aliran atau paham
kenegaraan, bukan mengenai dasar negara (Lihat isi
pokok usulan dasar negara).
Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut dasar negara dengan
menggunakan bahasa Belanda; philosophische
grondslag bagi Indonesia merdeka. Philosophische
grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa,
hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka.
Soekarno juga menyebut dasar negara dengan istilah ‘weltanschauung’ atau
pandangan hidup (Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan
Nannie Hudawati (peny.), 1995:
63, 69, 81, dan RM. A.B. Kusuma, 2004: 117, 121, 128-129).
Susunan nilai atau prinsip yang menjadi fundamen atau dasar negara pada
masa sidang pertama BPUPKI tersebut berbeda-beda. Usul Soekarno mengenai dasar
negara yang disampaikan dalam pidato 1 Juni 1945 terdiri atas lima dasar. Menurut
Ismaun, sebagaimana dikutip oleh Bakry (2010: 31), setelah mendapatkan masukan
dari seorang ahli bahasa, yaitu Muhammad Yamin yang pada waktu persidangan
duduk di samping Soekarno, lima dasar tersebut dinamakan oleh Soekarno sebagai ‘Pancasila’.
Untuk menampung usulan-usulan yang bersifat perorangan, dibentuklah
panitia kecil yang diketuai oleh Soekarno dan dikenal sebagai ‘Panitia
Sembilan’. Dari rumusan usulan-usulan itu, Panitia Sembilan berhasil merumuskan
Rancangan Mukaddimah (Pembukaan) Hukum Dasar yang dinamakan ‘Piagam Jakarta’
atau Jakarta Charter oleh Muhammad
Yamin pada 22 Juni 1945 (Lihat naskah Piagam Jakarta).
Rumusan dasar negara yang secara sistematik tercantum dalam alinea keempat,
bagian terakhir pada rancangan Mukaddimah tersebut adalah sebagai berikut;
1) Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3) Persatuan
Indonesia
4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia
Sidang BPUPKI
kedua, yaitu 10 Juli sampai 17 Juli 1945 merupakan masa penentuan dasar negara
Indonesia merdeka. Selain menerima Piagam Jakarta sebagai hasil rumusan Panitia
Sembilan, dalam masa sidang BPUPKI kedua juga dibentuk panitia-panitia Hukum
Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok Panitia Perancang Hukum Dasar.
Sidang lengkap BPUPKI pada 14 Juli 1945 mengesahkan naskah rumusan Panitia
Sembilan berupa Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar (RMHD)
dan menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar (RHD) pada hari berikutnya, yaitu 16
Agustus 1945 yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya termuat Piagam
Jakarta sebagai Mukaddimah.
Setelah sidang
BPUPKI berakhir pada 17 Juli 1945, maka pada 9 Agustus 1945 badan tersebut
dibubarkan oleh pemerintah Jepang dan dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan
atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu
Zyunbi Inkai yang kemudian dikenal sebagai ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dengan mengangkat Soekarno sebagai ketua dan Moh. Hatta
sebagai wakil ketua. Panitia ini memiliki peranan yang sangat penting bagi pengesahan
dasar negara dan berdirinya negara Indonesia yang merdeka. Panitia yang semula
dikenal sebagai ‘Buatan Jepang’ untuk menerima “hadiah” kemerdekaan dari Jepang
tersebut, setelah takluknya Jepang di bawah tentara Sekutu pada 14 Agustus
1945, dan proklamasi kemerdekaan negara Indonesia, badan buatan Jepang tersebut
berubah sifat menajdi ‘Badan Nasional’ Indonesia yang merupakan jelmaan seluruh
bangsa Indonesia.
Dalam sidang
pertama PPKI, yaitu pada 18 Agustus 1945, berhasil disahkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang disertai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Sebelum pengesahan, terlebih dahulu dilakukan
perubahan atas Piagam Jakarta atau Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar (RMHD) dan
Rancangan Hukum Dasar (RHD). Pengesahan dan penetapan setelah dilakukan
perubahan atas Piagam Jakarta tersebut tetap mencantumkan lima dasar yang
diberi nama Pancasila. Atas prakarsa Moh, Hatta, sila ‘Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, dalam Piagam
Jakarta sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut
diubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dengan demikian, Pancasila menurut
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah sebagai berikut;
1) Ketuhana
Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3) Persatuan
Indonesia
4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5) Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, sebagaimana
dikatakan oleh Soekarno (1960: 42) bahwa dalam mengadakan negara Indonesia
merdeka itu; “harus dapat meletakkan negara
itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam
bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana kita
gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.” Selanjutnya Soekarno menegaskan dengan
berkata; “Saya beri uraian itu tadi agar
saudara-saudara mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita memerlukan satu
dasar yang bisa menjadi dasar statis dan yang bisa menjadi leitstar dinamis.
Leitstar adalah istilah dari bahasa
Jerman yang berarti ‘bintang pimpinan’. Lebih lanjut, Soekarno mengatakan; “Kalau kita mencari satu dasar yang statis yang
dapat mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu leitstar dinamis yang
dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali se dalam-dalamnya di dalam
jiwa masyarakat kita sendiri…Kalau kita mau memasukkan elemen-elemen yang tidak
ada di dalam jiwa Indonesia, tidak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di
atasnya.”
A. Hubungan Pancasila dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945
Berdasarkan ajaran
Stuffen theory dari Hans Kelsen, menurut
Abdullah (1984: 71), hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dapat
digambarkan sebagai berikut;





![]() |

![]() |


Gambar yang
berbentuk piramidal di atas menunjukkan Pancasila sebagai suatu cita-cita hukum
yang berada di puncak segi tiga. Pancasila menjiwai seluruh bidang kehidupan
bangsa Indonesia. Dengan kata lain, gambar piramidal tersebut mengandung
pengertian bahwa Pancasila adalah cerminan dari jiwa dan cita-cita hukum bangsa
Indonesia.
Pancasila
sebagai cerminan dari jiwa dan cita-cita hukum bangsa Indonesia tersebut merupakan
norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara dan yang menjadi sumber dari segala
sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum (recht-idee),
baik tertulis maupun tidak tertulis di Indonesia. Cita hukum inilah yang
mengarahkan hukum pada cita-cita bersama bangsa Indonesia. Cita-cita ini secara
langsung merupakan cerminan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga bangsa.
Dalam pengertian
yang bersifat yuridis kenegaraan, Pancasila yang berfungsi sebagai dasar negara
tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang dengan jelas
menyatakan; “...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Sesuai dengan tempat
keberadaan Pancasila yaitu pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka fungsi pokok
Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya adalah sumber dari segala sumber
hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam
Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 (Jo. Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978). Hal ini
mengandung konsekuensi yuridis, yaitu bahwa seluruh peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya yang dikeluarkan oleh
negara dan pemerintah Republik Indonesia) harus sejiwa dan sejalan dengan
Pancasila. Dengan kata lain, isi dan tujuan Peraturan Perundang-undangan RI
tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila.
Berdasarkan
penjelasan di atas, hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
dapat dipahami sebagai hubungan yang bersifat formal dan material. Hubungan
secara formal, seperti dijelaskan oleh Kaelan (2000: 90-91), menunjuk pada
tercantumnya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan yang mengandung
pengertian bahwa tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas
sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan
asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius dan
asas-asas kenegaraan yang unsur-unsurnya terdapat dalam Pancasila.
Dalam hubungan
yang bersifat formal antara Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dapat
ditegaskan bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia
adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea Keempat.
Menurut Kaelan (2000: 91), Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan Pokok Kaidah
Negara yang Fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua
macam kedudukan, yaitu; 1) sebagai dasarnya, karena Pembukaan itulah yang
memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia; 2)
memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum
tertinggi.
Pembukaan yang
berintikan Pancasila merupakan sumber bagi batang tubuh UUD NRI Tahun 1945. Hal
ini disebabkan karena kedudukan hukum Pembukaan berbeda dengan pasal-pasal atau
batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, yaitu bahwa selain sebagai Mukaddimah,
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 mempunyai kedudukan atau eksistensi sendiri.
Akibat hukum dari kedudukan Pembukaan ini adalah memperkuat kedudukan Pancasila
sebagai norma dasar hukum tertinggi yang tidak dapat diubah dengan jalan hukum
dan melekat pada kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.
Lebih lanjut,
Kaelan (2000: 91-92) menyatakan bahwa Pancasila adalah substansi esensial yang
mendapatkan kedudukan formal yuridis dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Oleh
karena itu, rumusan dan yurisdiksi Pancasila sebagai dasar negara adalah
sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Perumusan Pancasila
yang menyimpang dari Pembukaan secara jelas merupakan perubahan secara tidak
sah atas Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Adapun hubungan
Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara material adalah menunjuk
pada materi pokok atau isi Pembukaanyang tidak lain kecuali Pancasila. Oleh
karena kandungan material Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang demikian itulah
maka Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dapat disebut sebagai Pokok Kaidah Negara
yang Fundamental, sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (tt.: 40), esensi atau
inti sari Pokok Kaidah Negara yang Fundamental secara material tidak lain
adalah Pancasila.
Menurut
pandangan Kaelan (2000: 92), bilamana proses perumusan Pancasila dan Pembukaan
ditinjau kembali maka secara kronologis, materi yang dibahas oleh BPUPKI yang
pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila baru kemudian Pembukaan. Setelah
sidang pertama selesai, BPUPKI membicarakan Dasar Filsafat Negara Pancasila dan
berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta yang disusun oleh Panitia Sembilan yang
merupakan wujud pertama Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam tertib hukum
Indonesia diadakan pembagian yang hierarkhis. Undang-Undang Dasar bukanlah
pertauran hukum yang tertinggi. Di atasnya masih ada dasar pokok bagi
Undang-Undang Dasar, yaitu Pembukaan sebagai Pokok Kaidah Negara yang
Fundamental yang di dalamnya termuat materi Pancasila. Walaupun Undang-Undang Dasar
itu merupakan hukum dasar Negara Indonesia yang tertulis atau konstitusi, namun
kedudukannya bukanlah sebagai landasan hukum yang terpokok.
Menurut teori
dan keadaan, sebagaimana ditunjukkan oleh Bakry (2010: 222), Pokok Kaidah
Negara yang Fundamental dapat tertulis dan juga tidak tertulis. Pokok Kaidah
yang tertulis mengandung kelemahan, yaitu sebagai hukum positif, dengan kekuasaan yang ada dapat
diubah walaupun sebenarnya tidak sah. Walaupun demikian, Pokok Kaidah yang
tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu memiliki formulasi yang tegas dan
sebagai hukum positif mempunyai sifat imperatif yang dapat dipaksakan.
Pokok
Kaidah yang tertulis bagi negara
Indonesia pada saat ini diharapkan tetap berupa Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat diubah karena menurut Bakry (2010:
222), fakta sejarah yang terjadi hanya satu kali tidak dapat diubah. Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945 dapat juga tidak digunakan sebagai Pokok Kaidah tertulis yang
dapat diubah oleh kekuasaan yang ada, sebagaimana perubahan ketatangeraan yang
pernah terjadi saat berlakunya Mukaddimah Konstitusi RIS 1949 dan Mukaddimah
UUDS 1950.
Sementara itu,
Pokok Kaidah yang tidak tertulis memiliki kelemahan, yaitu karena tidak
tertulis maka formulasinya tidak tertentu dan tidak jelas sehingga mudah tidak
diketahui atau tidak diingat. Walaupun demikian, Pokok kaidah yang tidak
tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu tidak dapat diubah dan dihilangkan oleh
kekuasaan karena bersifat imperatif moral dan terdapat dalam jiwa bangsa
Indonesia (Bakry, 2010: 223).
Pokok Kaidah
yang tidak tertulis mencakup hukum Tuhan, hukum kodrat, dan hukum etis. Pokok
Kaidah yang tidak tertulis adalah fundamen moral negara, yaitu ‘Ketuhanan Yang
Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
A. Penjabaran Pancasila dalam
Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945
Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan,
cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Pokok-pokok pikiran
tersebut mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia
karena bersumber dari pandangan hidup dan dasar negara, yaitu Pancasila.
Pokok-pokok pikiran yang bersumber dari Pancasila itulah yang dijabarkan ke
dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945.
Hubungan
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat Pancasila dengan batang tubuh UUD NRI
Tahun 1945 bersifat kausal dan organis. Hubungan kausal mengandung pengertian Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945 merupakan penyebab keberadaan batang tubuh UUD NRI Tahun
1945, sedangkan hubungan organis berarti Pembukaan dan batang tubuh UUD NRI Tahun
1945 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan dijabarkannya
pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang bersumber dari Pancasila
ke dalam batang tubuh, maka Pancasila tidak saja merupakan suatu cita-cita hukum,
tetapi telah menjadi hukum positif.
Sesuai dengan Penjelasan
UUD NRI Tahun 1945, Pembukaan mengandung empat pokok pikiran yang diciptakan
dan dijelaskan dalam batang tubuh. Keempat pokok pikiran tersebut adalah
sebagai berikut;
1) Pokok
pikiran pertama berintikan ‘Persatuan’, yaitu; “negara melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas
persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
2) Pokok
pikiran kedua berintikan ‘Keadilan sosial’, yaitu; “negara hendak mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
3) Pokok
pikiran ketiga berintikan ‘Kedaulatan rakyat’, yaitu; “negara yang
berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”.
4) Pokok
pikiran keempat berintikan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, yaitu; “negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’.
Pokok pikiran pertama menegaskan bahwa aliran pengertian negara
persatuan diterima dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu negara yang
melindungi bangsa Indonesia seluruhnya. Negara, menurut pokok pikiran pertama ini,
mengatasi paham golongan dan segala paham perorangan. Demikian pentingnya pokok
pikiran ini maka persatuan merupakan dasar negara yang utama. Oleh karena itu,
penyelenggara negara dan setiap warga negara wajib mengutamakan kepentingan
negara di atas kepentingan golongan atau perorangan.
Pokok pikiran kedua merupakan causa
finalis dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan tujuan atau
suatu cita-cita yang hendak dicapai. Melalui pokok pikiran ini, dapat
ditentukan jalan dan aturan-aturan yang harus dilaksanakan dalam Undang-Undang
Dasar sehingga tujuan atau cita-cita dapat dicapai dengan berdasar kepada pokok
pikiran pertama, yaitu persatuan. Hal ini menunjukkan bahwa pokok pikiran
keadilan sosial merupakan tujuan negara yang didasarkan pada kesadaran bahwa
manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pokok pikiran ketiga mengandung konsekuensi logis yang menunjukkan bahwa
sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas
kedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan. Menurut Bakry (2010: 209),
aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. Kedaulatan rakyat dalam
pokok pikiran ini merupakan sistem negara yang menegaskan kedaulatan sebagai
berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Pokok pikiran keempat menuntut konsekuensi logis, yaitu Undang-Undang
Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara
negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok pikiran ini juga mengandung pengertian
taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan
beradab sehingga mengandung maksud menjunjung tinggi hak asasi manusia yang
luhur dan berbudi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran keempat
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan asas moral bangsa dan negara (Bakry,
2010: 210).
MPR RI telah melakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945 sebanyak empat kali
yang secara berturut-turut terjadi pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9
November 2001, dan 10 Agustus 2002. Menurut Rindjin (2012: 245-246),
keseluruhan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945 yang telah mengalami amandemen
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pertama;
pasal-pasal yang terkait aturan pemerintahan negara dan kelembagaan negara;
kedua; pasal-pasal yang mengatur
hubungan antara negara dan penduduknya yang meliputi warga negara, agama, pertahanan
negara, pendidikan, dan kesejahteraan sosial; ketiga; pasal-pasal yang berisi materi lain berupa aturan mengenai
bendera negara, bahasa negara, lambang negara, lagu kebangsaan, perubahan UUD,
aturan peralihan, dan aturan tambahan (lihat tabel keterangan
UUD NRI Tahun 1945 sebelum dan sesudah amandemen).
Berdasarkan hasil-hasil amandemen dan pengelompokkan keseluruhan batang
tubuh UUD NRI Tahun 1945, berikut disampaikan beberapa contoh penjabaran
Pancasila ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945;
1. Sistem
pemerintahan negara dan kelembagaan negara;
a. Pasal
1
ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum yang dimaksud adalah
negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,
dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel).
Berdasarkan prinsip negara hukum, penyelenggara negara tidak saja bertindak
sesuai dengan hukum tertulis dalam menjalankan tugas untuk menjaga ketertiban
dan keamanan, namun juga bermuara pada upaya mencapai kesejahteraan umum,
kecerdasan kehidupan bangsa, dan perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia.
b. Pasal
3
ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
ayat (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden;
ayat (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar.
Wewenang atau kekuasaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagaimana disebutkan pada Pasal 3 ayat (1),
(2), dan (3) di atas menunjukkan secara jelas bahwa MPR bukan merupakan
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan lembaga negara tertinggi. Ketentuan
yang terkait dengan wewenang atau kekuasaan MPR tersebut juga menunjukkan bahwa
dalam ketatanegaraan Indonesia dianut sistem horizontal-fungsional dengan
prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antarlembaga negara.
2. Hubungan
antara negara dan penduduknya yang meliputi warga negara, agama, pertahanan
negara, pendidikan, dan kesejahteraan sosial;
a. Pasal
26
ayat (2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Orang asing yang menetap di wilayah
Indonesia mempunyai status hukum sebagai penduduk Indonesia. Sebagai penduduk,
maka pada diri orang asing itu melekat hak dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan prinsip yurisdiksi
territorial) sekaligus tidak boleh bertetangan dengan ketentuan hokum internasional
yang berlaku umum (general international
law).
b. Pasal
27
ayat (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara.
Pasal 27 ayat (3) tersebut
bermaksud untuk memperteguh konsep yang dianut bangsa dan negara Indonesia di
bidang pembelaan negara, yaitu bahwa upaya pembelaan negara bukan monopoli TNI,
namun juga merupakan hak sekaligus kewajiban setiap warga negara.
c. Pasal
29
ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 29 ayat (2) tersebut
menunjukkan bahwa negara menjamin salah satu hak manusia yang paling asasi,
yaitu kebebasan beragama. Kebebasan beragama bukanlah pemberian negara atau
golongan tetapi bersumber pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
d. Pasal
31
ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
pendidikan dasar menjadi wajib dan bagi siapa pun yang tidak melaksanakan
kewajibannya akan dikenakan sanksi. Sementara itu, pemerintah wajib membiayai
kewajiban setiap warga negara dalam mendapatkan pendidikan dasar. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap warga negara mempunyai pendidikan minimum yang
memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa.
Ketentuan ini juga mengakomodasi nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang religius dan tujuan sistem pendidikan nasional,
yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
e. Pasal
33
ayat (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan.
Asas kekeluargaan dan prinsip
perekonimian nasional dimaksudkan sebagai rambu-rambu yang sangat penting dalam
upaya mewujudkan demokrasi ekonomi di Indonesia. Dasar pertimbangan
kepentingannya tiada lain adalah seluruh sumber daya ekonomi nasional digunakan
sebaik-baiknya sesuai dengan paham demokrasi ekonomi yang mendatangkan manfaat
optimal bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia.
f. Pasal
34
ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Dari ketentuan pasal 34 ayat (2) tersebut
dapat diperoleh pengertian bahwa sistem jaminan sosial merupakan bagian upaya
mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan.
3. Materi
lain berupa aturan bendera negara, bahasa negara, lambang negara, dan lagu
kebangsaan
a. Pasal 35
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih
b. Pasal 36
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia
c. Pasal
36A
Lambang Negara ialah Garuda pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika
d. Pasal
36B
Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya
Bendera, bahasa, lambang, dan lagu
kebangsaan merupakan simbol yang mempersatukan seluruh bangsa Indonesia di
tengah perubahan dunia yang tidak jarang berpotensi mengancam keutuhan dan
kebersamaan sebauh negara dan bangsa, tak terkecuali bangsa dan negara
Indonesia (MPR RI, 2011: 187). Dalam pengertian yang simbolik itu, bendera,
bahasa, lambang, dan lagu kebangsaan memiliki makna penting untuk menunjukkan
identitas dan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia dalam pergaulan
internasional.
B. Implementasi Pancasila
dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang Politik, Ekonomi, Sosial Budaya
dan Hankam
Pokok-pokok
pikiran persatuan, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan Ketuhanan Yang Maha
Esa yang terkandung dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan pancaran dari Pancasila.
Empat pokok pikiran tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum
dasar negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penjabaran
keempat pokok pikiran Pembukaan ke dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945
mencakup empat aspek kehidupan bernegara, yaitu; politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan yang disingkat menjadi POLEKSOSBUD HANKAM.
Aspek politik dituangkan dalam pasal 26, pasal 27 ayat (1), dan pasal 28. Aspek
ekonomi dituangkan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan pasal 34. Aspek
sosial budaya dituangkan dalam pasal 29, pasal 31, dan pasal 32. Aspek
pertahanan keamanan dituangkan dalam pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 (Bakry,
2010: 276).
Pasal 26 ayat
(1) dengan tegas mengatur siapa-siapa saja yang dapat menjadi warga negara
Republik Indonesia. Selain orang berkebangsaan Indonesia asli, orang berkebangsaan
lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah
airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia yang disahkan oleh
undang-undang sebagai warga negara dapat juga menjadi warga negara Republik
Indonesia. Pasal 26 ayat (2) menyatakan bahwa penduduk ialah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Adapun pada
pasal 29 ayat (3) dinyatakan bahwa syarat-syarat menjadi warga negara dan
penduduk Indonesia diatur dengan undang-undang.
Pasal 27 ayat
(1) menyatakan kesamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan
dengan tidak ada kecualinya. Ketentuan ini menunjukkan adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara warga negara
baik mengenai haknya maupun mengenai kewajibannya.
Pasal 28
menetapkan hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, yang diatur
dengan undang-undang. Dalam ketentuan ini, ditetapkan adanya tiga hak warga
negara dan pendudukan yang digabungkan menjadi satu, yaitu; hak kebebasan
berserikat, hak kebebasan berkumpul, dan hak kebebasan untuk berpendapat.
Pasal 26, 27
ayat (1), dan 28 di atas adalah penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan
rakyat dan kemanusiaan yang adil dan beradab yang masing-masing merupakan
pancaran dari sila keempat dan kedua Pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah
landasan bagi kehidupan nasional bidang politik di negara Republik Indonesia.
Berdasarkan penjabaran
kedua pokok pikiran tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang
politik harus berdasar pada manusia yang merupakan subjek pendukung Pancasila,
sebagaimana dikatakan oleh Notonagoro (1975: 23) bahwa yang berketuhanan,
berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan adalah manusia.
Manusia adalah subjek negara dan oleh karena itu politik negara harus berdasar
dan merealisasikan harkat dan martabat manusia di dalamnya. Hal ini dimaskudkan
agar sistem politik negara dapat menjamin hak-hak asasi manusia.
Dengan kata
lain, pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik di Indonesia harus
memperhatikan rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan atau kedaulatan berada
di tangan rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan dan oleh karena itu,
politik Indonesia yang dijalankan adalah politik yang bersumber dari rakyat,
bukan dari kekuasaan perseorangan atau kelompok dan golongan, sebagaimana ditunjukkan
oleh Kaelan (2000: 238) bahwa sistem politik di Indonesia bersumber pada
penjelmaan hakikat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam
wujud dan kedudukannya sebagai rakyat.
Selain itu, sistem
politik yang dikembangkan adalah sistem yang memperhatikan Pancasila sebagai
dasar-dasar moral politik. Dalam hal ini, kebijakan negara dalam bidang politik
harus mewujudkan budi pekerti kemanusiaan dan memegang teguh cita-cita moral
rakyat yang luhur untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 27 ayat
(2) menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketentuan ini memancarkan asas
kesejahteraan atau asas keadilan sosial dan kerakyatan yang merupakan hak asasi
manusia atas penghidupan yang layak.
Pasal 33 ayat
(1) menyatakan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan, sedangkan pada ayat (2) ditetapkan bahwa cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara, dan pada ayat (3) ditegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Ayat (1) pada pasal ini menunjukkan adanya hak asasi manusia
atas usaha perekonomian, sedangkan ayat (2) menetapkan adanya hak asasi manusia
atas kesejahteraan sosial.
Selanjutnya pada
pasal 33 ayat (4) ditetapkan bahwa pereknomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sesuai dengan pernyataan
ayat (5) pasal ini, maka pelaksanaan seluruh ayat dalam pasal 33 diatur dalam
undang-undang.
Pasal 34 ayat
(1) mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mempu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ketentuan dalam ayat (2) ini
menegaskan adanya hak asasi manusia atas jaminan sosial.
Adapun pada
pasal 34 ayat (4) ditetapkan bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Pelaksanaan mengenai isi pasal ini, selanjutnya diatur dalam undang-undang,
sebagaimana dinyatakan pada ayat (5) pasal 34 ini.
Pasal 27 ayat
(2), pasal 33, dan pasal 34 di atas adalah penjabaran dari pokok-pokok pikiran
kedaulatan rakyat dan keadilan sosial yang masing-masing merupakan pancaran
dari sila keempat dan kelima Pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah landasan
bagi pembangunan sistem ekonomi Pancasila dan kehidupan ekonomi nasional.
Berdasarkan
penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam
bidang ekonomi di Indonesia dimaksudkan untuk menciptakan sistem perekonomian
yang bertumpu pada kepentingan rakyat dan berkeadilan. Salah satu pemikiran
yang sesuai dengan maksud ini adalah gagasan ekonomi kerakyatan yang
dilontarkan oleh Mubyarto, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2000: 239), yaitu
pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan, melainkan demi
kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Dengan kata lain, pengembangan
ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Dengan demikian,
sistem perekenomian yang berdasar pada Pancasila dan yang hendak dikembangkan dalam
pembuatan kebijakan negara bidang ekonomi di Indonesia harus terhindar dari
sistem persaingan bebas, monopoli dan lainnya yang berpotensi menimbulkan
penderitaan rakyat dan penindasan terhadap sesama manusia. Sebaliknya, sistem
perekonomian yang dapat dianggap paling sesuai dengan upaya mengimplementasikan
Pancasila dalam bidang ekonomi adalah sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sistem
ekonomi yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat secara luas.
Pasal 29 ayat
(1) menyatakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Penjelasan
Undang-Undang Dasar, ayat (1) pasal 29 ini menegaskan kepercayaan bangsa
Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Adapun dalam pasal 29 ayat (2)
ditetapkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pendudukan untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ketentuan ini jelas merupakan pernyataan tegas tentang hak asasi manusia atas
kemerdekaan beragama.
Pasal 31 ayat
(1) menetapkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ketentuan ini
menegaskan bahwa mendapat pendidikan adalah hak asasi manusia. Selanjutnya pada
ayat (2) pasal ini dikemukakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya. Dari ayat (2) pasal ini
diperoleh pemahaman bahwa untuk mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban
asasi manusia. Sebagai upaya memenuhi kewajiban asasi manusia itu, maka dalam
ayat (3) pasal ini diatur bahwa pemerintah wajib mengusahakan dan
menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dalam undang-undang. Demikian pula, dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, maka dalam ayat (4) pasal 31 ini ditetapkan bahwa negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam pasal 31 ayat (5) ditetapkan pula bahwa pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pasal 32 ayat
(1) menyatakan negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ketentuan menegaskan mengembangkan
nilai-nilai budaya merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya, ayat (2) pasal 32
menyatakan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional.
Pasal 29, pasal
31, dan pasal 32 di atas adalah penjabaran dari pokok-pokok pikiran Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan persatuan yang
masing-masing merupakan pancaran dari sila pertama, kedua, dan ketiga
Pancasila. Ketiga pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan bidang
kehidupan keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan nasional.
Berdasarkan
penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut, maka implementasi Pancasila dalam
pembuatan kebijakan negara dalam bidang sosial budaya mengandung pengertian
bahwa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia harus
diwujudkan dalam proses pembangunan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia.
Menurut Koentowijoyo, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2000: 240), sebagai
kerangka kesadaran, Pancasila dapat merupakan dorongan untuk; 1)
universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur; dan
2) transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan, manusia, dan
kebebasan spiritual. Dengan demikian, Pancasila sebagai sumber nilai dapat
menjadi arah bagi kebijakan negara dalam mengembangkan bidang kehidupan sosial
budaya Indonesia yang beradab, sesuai dengan sila kedua; kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Selain itu, pengembangan
sosial budaya harus dilakukan dengan mengangkat nilai-nilai yang dimiliki
bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak dapat dilepaskan
dari fungsi Pancasila sebagai sebuah sistem etika yang keseluruhan nilainya
bersumber dari harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab.
Perbenturan kepentingan politik dan konflik sosial yang pada gilirannya menghancurkan
sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia, seperti kebersamaan atau gotong royong
dan sikap saling menghargai terhadap perbedaan suku, agama, dan ras harus dapat
diselesaikan melalui kebijakan negara yang bersifat humanis dan beradab.
Pasal 27 ayat
(3) menetapkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
pembelaan negara. Dalam ketentuan ini, hak dan kewajiban warga negara merupakan
satu kesatuan, yaitu bahwa untuk turut serta dalam bela negara pada satu sisi
merupakan hak asasi manusia, namun pada sisi lain merupakan kewajiban asasi
manusia.
Pasal 30 ayat
(1) menyatakan hak dan kewajiban setiap warga negara ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara. Ketentuan ini menujukkan bahwa usaha pertahanan
dan keamanan negara adalah hak dan kewajiban asasi manusia. Pada ayat (2) pasal
30 ini dinyatakan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat sebagai kekuatan pendukung. Selanjutnya pada ayat (3) pasal 30 ini juga
dijelaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi,
dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Dalam ayat (4) pasal 30
dinyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Ayat (5) pasal 30 menyatakan
susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keiktusertaan
warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang
terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
Pasal 27 ayat
(3) dan pasal 30 di atas adalah penjabaran dari pokok pikiran persatuan yang
merupakan pancaran dari sila pertama Pancasila. Pokok pikiran ini adalah
landasan bagi pembangunan bidang pertahanan keamanan nasional.
Berdasarkan
penjabaran pokok pikiran persatuan tersebut, maka implementasi Pancasila dalam
pembuatan kebijakan negara dalam bidang pertahanan keamanan harus diawali
dengan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian dan demi
tegaknya hak-hak warga negara, diperlukan peraturan perundang-undangan negara
untuk mengatur ketertiban warga negara dan dalam rangka melindungi hak-hak
warga negara. Dalam hal ini, segala sesuatu yang terkait dengan bidang
pertahanan keamanan harus diatur dengan memperhatikan tujuan negara untuk
melindungi segenap wilayah dan bangsa Indonesia.
Pertahanan dan
keamanan negara diatur dan dikembangkan menurut dasar kemanusiaan, bukan
kekuasaan. Dengan kata lain, pertahanan dan keamanan Indonesia berbasis pada
moralitas kemanusiaan sehingga kebijakan yang terkait dengannnya harus
terhindar dari pelanggaran hak-hak asasi manusia. Secara sistematis, pertahanan
keamanan negara harus berdasar pada tujuan tercapaianya kesejahteraan hidup
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Sila pertama dan kedua), berdasar
pada tujuan untuk mewujudkan kepentingan seluruh warga sebagai warga negara
(Sila ketiga), harus mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta
kebebasan kemanusiaan (Sila keempat), dan ditujukan untuk terwujudnya keadilan
dalam hidup masyarakat (Sila kelima). Semua ini dimaksudkan agar pertahanan dan
keamanan dapat ditempatkan dalam konteks negara hukum, yang menghindari
kesewenang-wenangan negara dalam melindungi dan membela wilayah negara dan
bangsa, serta dalam mengayomi masyarakat.
Ketentuan
mengenai empat aspek kehidupan bernegara, sebagaimana tertuang ke dalam pasal-pasal
UUD NRI Tahun 1945 tersebut adalah bentuk nyata dari implementasi Pancasila
sebagai paradigma pembangunan atau kerangka dasar yang mengarahkan pembuatan
kebijakan negara dalam pembangunan bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan di Indonesia. Berdasarkan kerangka dasar inilah, pembuatan
kebijakan negara ditujukan untuk mencapai cita-cita nasional kehidupan
bernegara di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali, 1984, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa, Jakarta:
CV. Rajawali
Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI),
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Bakry, Noor Ms., 2010, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kaelan, 2000, Pendidikan
Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Offset
Kusuma, A.B., 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Latif, Yudi, 2011, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama
MPR RI, 2011, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI
Notonagoro, 1975, Pancasila
secara Ilmiah Populer, Jakarta: Pantjuran Tujuh
--------------, tt.,
Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta:
Fakultas Filsafat UGM
Rindjin, Ketut, 2012, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Comments
Post a Comment