PANCASILA
DALAM
KAJIAN SEJARAH
BANGSA
INDONESIA
Dr. Encep Syarief
Nurdin, M.Pd., M.Si.
Presiden
Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari
perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam
bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf
Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “sejarah memberikan
kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “sejarah merupakan guru kehidupan”.
Arus sejarah memperlihatkan
dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika
mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan
usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64). Pentingnya
cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh
cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner,
“No nation can achieve greatness unless
it believes in something, and unless that something has moral dimensions to
sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai
sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna
menopang peradaban besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Begitu kuat
dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya
sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak hanya sekedar
“confirm and deepen” identitas Bangsa
Indonesia. Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas Bangsa Indonesia sendiri
sepanjang masa. Sejak Pancasila digali kembali dan dilahirkan kembali menjadi
Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan identitas
yang dormant, yang “tertidur” dan
yang “terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
A. Pancasila Pra Kemerdekaan
Ketika Dr.
Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK), pada tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk
mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan
rangsangan anamnesis yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke
belakang; hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian,
kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011:
4). Begitu lamanya penjajahan di bumi pertiwi menyebabkan bangsa Indonesia
hilang arah dalam menentukan dasar negaranya. Dengan permintaan Dr. Radjiman
inilah, figur-figur negarawan bangsa Indonesia berpikir keras untuk menemukan
kembali jati diri bangsanya.
Pada sidang
pertama BPUPKI yang dilaksanakan dari tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, tampil berturut-turut
untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar
negara. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan
dasar negara Indonesia sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri
Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan dan 5) Kesejahteraan Rakyat.
Selanjutnya Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori
Negara, yaitu: 1) Teori negara perseorangan
(individualis), 2) Paham negara kelas dan 3) Paham
negara integralistik. Kemudian disusul oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni
1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari: 1) Nasionalisme
(kebangsaan Indonesia), 2) Internasionalisme (peri kemanusiaan), 3) Mufakat
(demokrasi), 4) Kesejahteraan sosial, dan 5) Ketuhanan Yang Maha Esa
(Berkebudayaan) (Kaelan, 2000: 37-40).
Pada pidato
tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno mengatakan,
“Maaf, beribu maaf! Banyak anggota
telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya
bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia
Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia
ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische
grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische
grond-slag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa,
hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang
kekal dan abadi”(Bahar, 1995: 63).
Begitu
hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan
koheren, namun dengan rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut
sebagai pencipta Pancasila. Beliau mengatakan,
“Kenapa diucapkan terima kasih kepada
saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan,
bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada
bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu,
saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan,
bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini
saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap
manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi
ilham oleh Allah Subhanahu Wataala”
(Soekarno dalam Latif, 2011: 21).
Selain
ucapan yang disampaikan Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun merupakan khasanah
budaya Indonesia, karena nilai-nilai tersebut hidup dalam sejarah Indonesia
yang terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di Indonesia, seperti berikut:
1.
Pada kerajaan Kutai, masyarakat Kutai
merupakan pembuka zaman sejarah Indonesia untuk pertama kali, karena telah
menampilkan nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri
dan sedekah kepada para Brahmana (Kaelan, 2000: 29).
2.
Perkembangan kerajaan Sriwijaya oleh
Mr. Muhammad Yamin disebut sebagai Negara Indonesia Pertama dengan dasar kedatuan, itu dapat ditemukan nilai-nilai Pancasila
material yang paling berkaitan satu sama lain, seperti nilai persatuan yang
tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat
kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha mempertahankan kewibawaannya
terhadap para datu. Demikian juga nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang
terjalin satu sama lain dengan nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan
dagang yang terentang dari pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan
pelabuhan kerajaan dan Selat Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang
menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan Sriwijaya (Suwarno, 1993: 20-21).
3.
Pada masa kerajaan Majapahit, di
bawah raja Prabhu Hayam Wuruk dan Apatih Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil
mengintegrasikan nusantara. Faktor-faktor yang dimanfaatkan untuk menciptakan
wawasan nusantara itu adalah: kekuatan
religio magis yang berpusat pada Sang Prabhu, ikatan sosial kekeluargaan
terutama antara kerajaan-kerajaan
daerah di Jawa dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom Narandra. Jadi dapatlah
dikatakan bahwa nilai-nilai religious sosial dan politik yang merupakan materi
Pancasila sudah muncul sejak memasuki zaman sejarah (Suwarno, 1993: 23-24).
Bahkan, pada masa kerajaan ini, istilah
Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan Prapanca
dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah Pancasila
di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa Sansekerta),
juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu
1.
Tidak boleh melakukan kekerasan
2.
Tidak boleh mencuri
3.
Tidak boleh berjiwa dengki
4.
Tidak boleh berbohong
5.
Tidak boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo,
1978: 6).
Kedua
zaman, baik Sriwijaya maupun Majapahit dijadikan tonggak sejarah karena pada
waktu itu bangsa telah memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang mempunyai
negara. Baik Sriwijaya maupun Majapahit waktu itu merupakan negara-negara yang
berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara.
Pada zaman tersebut bangsa Indonesia telah mengalami kehidupan yang gemah
ripah loh jinawi, tata tentrem,
kerta raharja (Darmodihardjo dkk, 1991: 21). Selain zaman
kerajaan, masih banyak fase-fase
yang harus dilewati menuju Indonesia merdeka hingga tergalinya Pancasila yang
setelah sekian lama tertimbun oleh penjajahan Belanda.
Sebagai
salah satu tonggak sejarah yang merefleksikan dinamika kehidupan kebangsaan
yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila adalah termanifestasi
dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi,
“Kami
putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Penemuan
kembali Pancasila sebagai jati diri bangsa terjadi pada sidang pertama BPUPKI
yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pada tanggal 1 Juni 1945 di
depan sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyebutkan lima dasar bagi Indonesia
merdeka. Sungguh pun Ir. Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar negara,
beliau juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai
bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar
kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan dapat
dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila. Tri Sila meliputi: socio-nationalisme, socio democratie dan ke-Tuhanan. Sedangkan Eka
Sila yang dijelaskan oleh Ir. Soekarno yaitu “Gotong Royong” karena menurut Ir.
Soekarno negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong
(Latif, 2011: 18-19). Tetapi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama
Pancasila (di samping nama Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih)
(Notosusanto, 1981: 21). Ini bukan merupakan kelemahan Ir. Soekarno, melainkan
merefleksikan keluasan wawasan dan kesiapan berdialog dari seorang negarawan
besar. Faktanya Ir, Soekarno diakhir sejarah terbukti sebagai penggali
Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
Setelah
sidang pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang disebabkan
perbedaan pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI
terdiri dari elit Nasionalis netral agama,
elit Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis Kristen. Elit
Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, namun dengan
kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik antara Nasionalis netral
agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
yang berisi “tujuh kata”: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Risalah Sidang
BPUPKI, 1995; Anshari, 1981; Darmodihardjo, 1991). Kesepakatan peniadaan tujuh
kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo demi kepentingan nasional
oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit
Muslim sendiri tidak ingin republik yang dibentuk ini merupakan negara berbasis
agama tertentu (Eleson dalam Surono dan Endah (ed.),
2010: 37).
Pada
awal kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak lebih
sebagai kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan
negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati
dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka (Ali, 2009: 17). Inilah
perjalanan The Founding Fathers
yang begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan keadaan agar dapat
melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan masyarakat Indonesia.
B. Pancasila Era Kemerdekaan
Pada
tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika
Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian
BPUPKI berganti nama menjadi PPKI menegaskan keinginan dan tujuan mencapai
kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat
Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya. Peristiwa ini pun dimanfaatkan
oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Untuk
merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi
perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks
proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks
proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad
Soebardjo di ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol
No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda)
mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks proklamasi
Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik.
Isi
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang
tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi
garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta
memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih
tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo
(15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian
disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD
1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Awal
dekade 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan
interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif
yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan
Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka
memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan sebuah filsafat
sosial atau weltanschauung bangsa.
Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar
argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis netral
agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis
Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar
negara.
C. Pancasila
Era Orde Lama
Terdapat dua
pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya
Dekrit Presiden.
Pandangan tersebut yaitu mereka yang
memenuhi “anjuran” Presiden/ Pemerintah
untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana
dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya
menyetujui ‘kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya
dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua
usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante (Anshari,
1981: 99).
Majelis
(baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini
menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang
disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana
Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981:
99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
1.
Pembubaran konstituante;
2.
Undang-Undang Dasar 1945 kembali
berlaku; dan
3.
Pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Sosialisasi
terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan
“ideologi negara” yang tampil hegemonik.
Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai
satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto politik (manipol)
adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden
(Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No.
1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia
tersebut merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit
yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh
karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik “gerilya” di dalam
kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan
agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan
politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33).
Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama
menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan
di antara beragam golongan dan ideologi
termasuk komunis, di bawah satu payung besar, bernama Pancasila (doktrin
Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi
diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan
menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009: 34).
Dengan
adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat
itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, melalui
sidang MPRS.
D. Pancasila Era Orde Baru
Setelah
lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal
Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi
kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada
peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila
makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan
Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan,
“Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila
bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah
UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Jadi,
Pancasila dijadikan sebagai political
force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila
digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto
mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa
Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau
mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan
(Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 42).
Selanjutnya
pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12
tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar
negara, yaitu:
Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai
berlaku pada tanggal 13 April 1968.
Pada tanggal
22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
yang salah satu pasalnya tepatnya Pasal 4 menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan
utuh”.
Adapun
nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut
meliputi 36 butir, yaitu:
1.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a.
Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b.
Hormat-menghormati dan bekerja sama
antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga terbina kerukunan hidup.
c.
Saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
d.
Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan kepada orang lain.
2.
Sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab
a.
Mengakui persamaan derajat, persamaan
hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b.
Saling mencintai sesama manusia.
c.
Mengembangkan sikap tenggang rasa dan
tepo seliro.
d.
Tidak semena-mena terhadap orang
lain.
e.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g.
Berani membela kebenaran dan keadilan.
h.
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai
bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
3.
Sila Persatuan Indonesia
a.
Menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b.
Rela berkorban
untuk kepentingan bangsa dan negara.
c.
Cinta tanah air dan bangsa.
d.
Bangga sebagai
bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e.
Memajukan pergaulan demi persatuan
dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4.
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
a.
Mengutamakan
kepentingan negara dan masyarakat.
b.
Tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain.
c.
Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
d.
Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e.
Dengan itikad baik dan rasa tanggung
jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
f.
Musyawarah dilakukan dengan akal
sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g.
Keputusan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5.
Sila Keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia
a.
Mengembangkan perbuatan-perbuatan
yang luhur yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
b.
Bersikap adil.
c.
Menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
d.
Menghormati hak-hak orang lain.
e.
Suka memberi pertolongan kepada orang
lain.
f.
Menjauhi sikap pemerasan terhadap
orang lain.
g.
Tidak bersifat boros.
h.
Tidak bergaya hidup mewah.
i.
Tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum.
j.
Suka bekerja keras.
k.
Menghargai hasil karya orang lain.
l.
Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang
merata dan berkeadilan sosial.
Nilai-nilai
Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994
disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan
yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua,
menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat,
menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber
hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan di negara Indonesia diatur
dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan,
“Amanat
penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara
paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan
pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945,
untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang
konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali,
2009: 37).
Ketika
itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing
oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila.
Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara
keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan
mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru
merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak
seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan
Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan
Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan
terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus
mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan
Endah (ed.), 2010: 43-44).
Dengan semakin
terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada
akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer
mengkritik praktek
pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan
manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek
Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010:
45).
E. Pancasila Era Reformasi
Pancasila
yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat
pelaksana Negara, dalam kenyataannya
digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut
ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah
berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan
masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut
adanya “reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000:
245).
Saat Orde
Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara
waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru.
Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai
serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali,
2009: 50).
Dengan
seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya
memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari
dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali
atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara
masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa
dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran
budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi
kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda. Dalam
bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah
lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik,
terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolah-olah
hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas
politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk
berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional
yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa
ini (Hidayat, 2012).
Namun
demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara
normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998
Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan
ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi
Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain
kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum
yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang
menyebutkan,
“Sumber
hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945”.
Semakin
memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar
tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai
faktor integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian
tampak signifikan karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan
gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51). Selain keadaan di
atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama kemudian
muncul gejala Perda Syariah di sejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut
seakan melengkapi kegelisahan
publik selama reformasi yang mempertanyakan arah gerakan reformasi dan
demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan. Diskursus
tentang Pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan Hari
Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali,
2009: 52). Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara
intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai
Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah
menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di
Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional
Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Pendidikan Indonesia, dan
Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan
kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal dengan sebutan “Empat
Pilar Kebangsaan”, yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Akan
tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini menurut Kaelan (2012: 249-252)
mengandung; 1) linguistic mistake
(kesalahan linguistik) atau dapat pula dikatakan kesalahan
terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada realitas empiris
sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu
pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu dianalogikan bangunan besar
(gedung yang besar); 3) kesalahan kategori (category
mistake), karena secara epistemologis kategori pengetahuan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan
dengan realitas atau hakikat pengetahuannya,
wujud pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain
TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa:
Penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Hal
tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya
pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut
tidak cukup. Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu
dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh
kembali, sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang melakukan
kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu kebijakan
nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan
mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata
kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting
dari kajian historis Pancasila ini ialah
untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif
kategoris menghayati dan melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara
maupun sebagai Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan
dalam pasal-pasal UUD 1945.[ ]
Daftar Pustaka
Abdulgani,
Roeslan, 1979, Pengembangan Pancasila di Indonesia, Yayasan
Idayu, Jakarta.
Ali,
As’ad Said, 2009, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Pustaka LP3ES, Jakarta.
Anshari,
Endang Saifuddin, 1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara
Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959,
Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, Bandung.
Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,
1994,
Bahan Penataran P-4, Pancasila/P-4,
BP-7 Pusat, Jakarta.
Bahar,
Safroedin, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei
1945-22 Agustus 1945, Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Darmodihardjo,
D, 1978, Orientasi Singkat Pancasila,
PT. Gita Karya, Jakarta.
Darmodihardjo,
D dkk., 1991, Santiaji Pancasila Edisi Revisi,
Usaha Nasional, Surabaya.
Dodo,
Surono dan Endah (ed.),
2010,
Konsistensi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan
Implementasinya, PSP-Press, Yogyakarta.
Hidayat,
Arief, 2012, “Negara
Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal Penyelenggaraan Negara Hukum”,
Makalah pada Kongres Pancasila IV di UGM
Yogyakarta tanggal 31 Mei- 1 Juni 2012.
Ismaun,
1978,
Tinjauan Pancasila: Dasar
Filsafat Negara Republik Indonesia,
Carya Remadja, Bandung.
Kaelan,
2000,
Pendidikan Pancasila,
Paradigma, Yogyakarta.
_____, 2012, Problem Epistemologis
Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara,
Paradigma, Yogyakarta.
Latif,
Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas
Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
MD,
Moh. Mahfud, 2011, “Implementasi Nilai-nilai Pancasila
dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia”, Makalah
pada
Sarasehan Nasional 2011 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 2-3 Mei
2011.
Notosusanto,
Nugroho, 1981, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara,
PN Balai Pustaka, Jakarta.
Setiardja,
A. Gunawan, 1994, Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Soekarno,
1989,
Pancasila dan Perdamaian Dunia,
CV Haji Masagung, Jakarta.
Suwarno,
1993,
Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Yamin,
Muhammad, 1954, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia,
Djambatan, Jakarta/Amsterdam.
Comments
Post a Comment